,
Jakarta
Dosen hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengomentari perdebatan seputar proses pemilihan suara berulang yang sedang hangat dibicarakan.
Pilkada Banjarbaru
, Kalimantan Selatan, dianggap sebagai tindak pidana.
“Saya berpendapat bahwa hal ini merupakan pelanggaran hukum pemilihan umum,” ucap Zainal saat mengikuti diskusi online yang bernama ‘Duitrokasi Mengambil Alih Demokrasi PSU Banjarbaru dan Tindakan Hukum Di MK’ pada hari Selasa, tanggal 13 Mei tahun 2025.
Dia menyebutkan bahwa tindak pidana terkait pemilihan umum dalam Pilkada Banjarbaru sudah diketahui jauh hari sebelum acara tersebut digelar.
PSU
sebagai keputusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pada tanggal 24 Februari kemarin, Majelis menetapkan bahwa harus ada pemilihan susulan di Banjarbaru. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan bahwa langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru yang tidak termasuk opsi kotak kosong dalam formulir suara melanggar aturan undang-undang.
Pemilihan Kepala Daerah di Banjarbaru adalah pemilu yang berlangsung tanpa adanya pilihan ganda karena cuma ada satu pasangan kandidat. Oleh sebab itu, Majelis mengharuskan untuk melangsungkan Pemilihan Ulang dengan menambahkan opsi kotak kosong dalam formulir suara.
Mahkamah menilai,
KPU
Kota Banjarbaru tidak mengizinkan pemilih untuk memilih pasangan calon yang bukan bernomor urut satu, yakni Erna Lisa Halaby-Wartono.
Zainal mengatakan bahwa setelah dilaksanakannya PSU di Banjarbaru, perdebatan justru tidak berakhir. Pasangan calon Erna-Walaby dicurigai terlibat dalam tindakan penipuan.
Permasalahan ini terletak pada fakta bahwa badan pengawas yang menjalankan tanggung jawabnya justru dianggap melebihi batas otoritas oleh KPU Kalimantan Selatan. Kemudian, belakangan ini, Ketua DPD Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Pemilihan Umum Susulan (PSU).
“Sungguh luar biasa jika PSU memiliki keinginan untuk melakukan pengawasan setelahnya, namun pihak yang mengawasi justru dilarang dengan ancaman hukuman penjara,” kata Zainal.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Selatan pekan lalu mengungkapkan bahwa Lembaga Pengawas Rakyat untuk Integrasi (LPRI) telah menyalahi wewenangnya sebagaimana ditetapkan bagi badan pemantaunya dalam pemilu. Andi Tenri Sompa, yang merupakan ketua KPU di Kalimantan Selatan, menjelaskan bahwasanya selama Penyertaan Suara Ulang (PSU) di Banjarbaru, LPRI turut serta melakukan perhitungan awal kemudian menerbitkan hasil tersebut kepada pihak media.
Menurut dia, sebagai lembaga pemantau yang sebelumnya terakreditasi, LPRI seyogianya memahami akan regulasi tugas dan fungsi. “Berdasarkkan rekomendasi Bawaslu Banjarbaru dan hasil telaah internal KPU Kalimantan Selatan, maka diputuskan status LPRI sebagai lembaga pemantau pemilu dicabut,” kata Tenri.