PALANGKA RAYA-
Sejumlah penduduk yang menjadi bagian dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalimantan Tengah melakukan demonstrasi damai di Palangkaraya pada hari Rabu dinihari (14/5/2025).
Tindakan tersebut dilaksanakan di dua tempat utama yaitu di Rumah Adat Betang Hapakat serta area depan Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya yang berada di Jalan RTA Milono.
Tindakan ini adalah bentuk penolakan atas putusan dari Majelis Hakim PN Sampit yang dinilai merendahkan serta melupakan wewenang pengadilan adat Dayak, terutama keputusan Damang Adat di Kecamatan Tualan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
Pada kegiatan tersebut hadir wakil-wakil dari masyarakat adat Dayak yang berasal dari beragam daerah di Tanah Tambun Bungai.
Masyarakat mengibarkan spanduk serta sorakan damai yang meminta hak keadilan dan penghargaan atas hukum tradisional yang sudah lama jadi landasan hidup orang Dayak.
Tindakan tersebut bermula di Rumah Adat Betang Hapakat, tempat penyerahan tuntutan ke DAD Provinsi Kalimantan Tengah. Kemudian, kerumunan orang pindah ke Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangkaraya guna mengemukakan tuntutannya.
Perwakilan pendemo serta terdakwa pertama, Yanto Eko Saputo, mengungkapkan bahwa ada tiga poin utama yang ditekankan selama aksi tersebut. Pernyataan ini sudah dilaporkan secara formal ke DAD Kalimantan Tengah dan Pengadilan Tinggi di Palangkaraya. Berdasarkan penjelasan Yanto, balasan dari DAD Kalimantan Tengah sangat memuaskan.
“Selain itu, kita telah mengirimkan laporannya kepada Pengadilan Tinggi Palangka Raya supaya pihak tersebut dapat mengetahui serta memperhitungkan banding yang diajukan atas putusan Pengadilan Negeri Sampit. Kita mendambakan suatu keadilan yang sesuai dengan tradisi tanpa meninggalkan fungsi damang sebagai kepala hukum adat dalam wilayahnya,” tambah Yanto.
Yanto menyebutkan bahwa DAD bersedia meninjau laporan tersebut dan merespons permohonan dari masyarakat setempat. Khususnya tentang tuntutan untuk melangsungkan sidang adat Basara Hai, sebagai cara bagi masyarakat untuk bertanggung jawab atas transgresi nilai-nilai dan norma-norma tradisional oleh siapa saja, bahkan termasuk hakim.
Dia menyatakan bahwa kelompoknya tidak bermaksud untuk campur tangan dalam urusan hukum nasional, tetapi mereka berusaha memperjuangkan keadilan bagi komunitas asli yang sering kali dilupakan dan pinggirkan oleh sistem pengadilan resmi. Jika pihak terkait tidak melakukan apa pun secara nyata selama dua pekan mendatang, tim ini akan bertindak kembali.
” Kami menginginkan langkah-langkah konkret selanjutnya. Bila hal tersebut tak terwujud, kami tidak akan pasif begitu saja. Hal ini bukan merupakan bentuk dari anarkis ataupun campur tangan, melainkan pertempuran demi penghargaan hak hukum tradisional yang valid,” tandasnya.
Berikut adalah seruan dari sejumlah pendemo dengan beberapa poin utama. Yang pertama, mereka mendesak ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya serta hakim peninjau untuk melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran kode etika oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Sampit dalam kasus perdata bernomor 36/pdt.g/2024/PN/SPT pada 29 April 2025. Hal ini dikarenakan putusan tersebut dipandang sebagai keputusan ultra petita dan melukai hati masyarakat hukum adat Dayak, terlebih lagi setelah penetapan bahwa Keputusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan Tualan Hulu No. 1/dka-TH/PTS/5/2024, ditetapkan pada 2 Mei 2024, dibuat tak sah dan tidak berlaku secara hukum.
Kedua, memerintahkan Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya untuk menyusun pengakuan bertulis yang mencantumkan permohonan maaf kepada semua masyarakat hukum adat Dayak serta lembaga adat Dayak se- Kalimantan Tengah karena telah melanggar seperti dalam tuntutan pertama, dan juga menjaminkan bahwa insiden serupa tak bakal kembali terjadi pada masa depan. Tuntutan ketiga adalah agar DAD Kalteng mengadakan persidangan adat Basara Hai.
Saat ini, Wakil Ketua PT di Palangka Raya bernama Muhammad Damis mengambil langkah serius terhadap keinginan masyarakat. Dia menyampaikan bahwa tim mereka sudah mengajukan permohonan klarifikasi kepada Pengadilan Negeri Sampit mulai tanggal 9 Mei 2025, namun sampai saat ini belum ada balasan resmi yang diterima.
“Kami tak hanya menunggu. Begitu menerima informasi, kita segera meminta penjelasan ke PN Sampit. Tetapi sampai saat ini pun belum ada respon,” jelas Damis.
Dia menyebutkan bahwa kasus bernomor 36/Pdt.G/2025/PN/Spt saat ini sudah memasuki tahap upaya hukum banding dan akan ditinjau kembali oleh panel hakim di Pengadilan Tinggi Palangka Raya.
Damis menyatakan bahwa keberadaan hukum adat dikonfirmasi oleh undang-undang dasar, khususnya melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, serta hakim perlu memperhitungkan norma-norma tradisional yang berlaku di kalangan publik. Walaupun demikian, dia juga mencatat bahwa hasil pengambilan keputusan dari badan adat harus masih sesuai dengan aturan hukum resmi negara.
“Peraturan yang berkaitan dengan hukum adat, misalnya damai berdasarkan tradisi, harus diregistrasi di pengadilan selagi tak melanggar hukum, kesopanan, serta ketenteraman publik,” katanya.
Menghadapi keraguan warga mengenai kemungkinan campur tangan, Damis menegaskan bahwa hakim-hakim di Pengadilan Tinggi Palangka Raya beroperasi dengan kemandirian dan tanpa dipengaruhi oleh paksaan dari siapapun.
“Di tempat ini tak terdapat pengiriman apapun. Hakim kita bertindak dengan independen. Kami mengumpulkan seluruh masukan dari publik untuk dijadikan pertimbangan dalam tahapan kasasi yang tengah berlangsung,” demikian penutupannya.
(mut/ce/ala)