Pertanyaannya besar adalah: Bisakah Indonesia mengalami kehancuran? Atau justru dapat berhasil bermaneu untuk menjadi pemimpin di kancah global?
Civilization today stands at the brink of significant change which seems to be leading towards conditions not necessarily beneficial for humanity. Behind various
gimmick
, keriuhan serta kemilau kehidupan yang kelihatan seronok, namun di balik itu semua, realita dalam urusan politik dunia menggambarkan situasi saat ini sangatlah suram. Peperangan bukan cuma tentang ledakan senjata atau peluncuran roket; malahan sudah merambah lewat saluran-saluran tak langsung semacam media informasi, aktivitas ekonomi, aturan-aturan kesehatan, hingga pengaruh pada opini masyarakat umum. Di tengah arus gerak kompleks tersebut, Indonesia—sebagai sebuah negeri raksasa bersama penduduk dan bumi subur yang melimpah—tentunya tidak bisa tinggal diam atau membodohi dirinya sendiri untuk percaya bahwa segala sesuatunya pasti aman tanpa masalah. Sebaliknya, memandang bentuk fisik dan struktur negri kita, rasanya kaum kita punya potensi bakalan jadi incaran selanjutnya bagi skema-skema geopolitik global yang sarat dengan maksud-maksud terselubung.
Dunia Saat Ini Kurang Menyenangkan: Kekhawatan Serupa Di Seluruh Dunia
Ayo kita mulai dengan pandangan luas di luar sana. Harus kami akui bahwa situasi global sekarang sedang menghadapi tekanan yang rumit. Perang perdagangan yang tengah berlangsung, khususnya antara AS dan China—kedua pemain utama ekonomi dunia—bukanlah masalah tentang bea masuk atau industri chip saja, tetapi juga mencerminkan pertempuran untuk menduduki posisi dominan secara global. Tekanan ini memiliki dampak emosional pada banyak negara lain, bahkan sekutunya sendiri, membuat mereka merasa tidak yakin bagaimana harus bersikap. Ini semua telah membawa pergeseran besar dalam aliansi internasional dalam kurun waktu beberapa bulan belakangan. Relasi bilateral semakin tegang dan dipenuhi curiga satu sama lain. Ada pergantian cepat dari persahabatan menuju permusuhan. Istilah “Perang Dingin Baru” kini sudah menjalar ke struktur ekonomi global serta ikut pengaruhi dinamika politik di setiap penjuru dunia. Hal ini tentunya tak lepas dari pengaruh bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Pada saat yang sama, perselihan antara Pakistan dan India yang semakin intensif tidak hanya berupa pertentangan batas wilayah ataupun agama saja. Ketegangan tiba-tiba mencapai puncaknya dengan cepat dan signifikan. Ada aspek lain yang justru lebih mendesak yakni ancaman dari senjata pembinasa massal nuklir. Di mana Pakistan adalah satu-satunya negeri mayoritas Islam yang sudah secara sah mempunyai bom atom tersebut. Oleh karena itu, hal ini cukup beralasan apabila orang-orang merasa adanya tujuan tersembunyi untuk menekan serta kalau bisa menjinakkannya.
Dalam situasi demikian, duga-duga tentang campurtangan kekuatan internasional seperti Israel — sebuah entitas yang selalu ingin bertindak sebagai pengekalah di Asia Barat Daya hingga skala global – tak dapat dipandang remeh. Sudah semenjak era Perang Dunia Kedua, Israel telah aktif dalam strategi diplomasi rahasia lewat kerjasamanya dalam bidang militer, teknologi, dan mata-mata. Justru para ahli mulai membuat teori-teori baru yang mengisyaratkan proses lambat namun pastinya dominansi AS dan UE digantikan oleh ambisi geopolitikal Israel via pengaruh finansial dan upaya-lobby berskala besar.
Kekacauan dalam negeri: Mengapa tiba-tiba Indonesia menjadi tidak stabil?
Harus kita akui bahwa usai pelantikan Presiden Prabowo Subianto, suasana politik-sosial di Indonesia sempat terlihat lebih tenang dari biasanya. Figur Prabowo, yang dulunya merupakan lawan kontras bagi Joko Widodo dalam dua gelaran Pemilihan Umum berjajar, malah dipandang sebagai orang yang bisa memadukan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Dia sukses menghubungkan pendukung Jokowi serta kelompok-kelompok yang awalnya menjadi oposisi kuat kepada mereka, tidak hanya pada tingkat gagasan tetapi juga secara langsung. Di tahap awal kepresidenannya, masyarakat mulai menyaksikan adanya dorongan baru menuju penyatuan bangsa dan pembetulan manajemen negara.
Akan tetapi, situasi itu mengalami perubahan signifikan. Kepercayaan tersebut tampaknya semata-mata sebagai harapan yang sia-sia. Secara tiba-tiba, serangkaian masalah sensitif dan penting mulai muncul bertubi-tubi. Yang mencengangkan, isu-isu hangat tersebut umumnya berkaitan dengan TNI. Mulai dari penunjukan promosi militer yang dianggap tak adil, misalnya kasus Teddy Indra Wijaya yang melesat cepat dari pangkat kapten sampai mendekati kolonel, hingga pemberhentian Letjen Kunto Arief Wibowo dari posisi Pangkogabwilhan I yang memicu kontroversi dan spekulasi karena penggeserannya kemudian ditarik mundur cuma dalam hitungan hari saja. Lebih ganjarnya lagi, ada juga insiden pemindahan Laksdya Mda Kresno Buntoro, pejabat senior Angkatan Laut, menjadi Pati Mabes TNI AD pada saat dia akan pensiun—suatu langkah belum pernah dilakukan sebelumnya dalam riwayat TNI modern.
Masalah-masalah tersebut, meskipun pada intinya adalah masalah internal TNI, namun di zaman serba transparan seperti saat ini, sudah menjadi bahan pembicaraan umum dan menciptakan spekulasi yang beragam. Apalagi dengan adanya perselisihan yang cukup signifikan antara para pensiunan TNI mengenai isu dewan pengganti presiden Gibran, kondisi pun semakin rumit. Para tokoh senior yang selalu dipandang karena sikap netralitas dan dedikasinya kepada bangsa tampak bertentangan secara terbuka. Dalam konteks itu, banyak orang yang merasa bahwa hal-hal ini tidak hanya soal dinamika atau urusan lembaga biasa, tetapi juga bisa jadi indikator dari penurunan status sistematis atas institusi pertahanan nasional.
Vaksin, Pandemik, dan Pemanipulasian Fakta
Dalam suasana ketidakstabilan politik dan militer, masuklah isu internasional baru yang sama-sama membuat orang was-was: vaksin tuberkulosis (TBC). Di saat seluruh dunia masih bergembrung akibat pandemi COVID-19 dengan segala spekulasi soal kesetaraan informasi dan niat di belakang pengembangan vaksin skala global, publik kini harus mempertanyakan hal serupa lagi. Vaksin TBC buatan GlaxoSmithKline (GSK), yang telah mulai dikembangkan sejak tahun 2018 dan melalui tahapan penelitian dengan hasil positif, secara anehnya menghenti perkembangannya. Namun ironinya, proyek ini kemudian bangkit kembali sebagai prioritas utama pasca mendapatkan suntikan dana signifikan dari The Bill & Melinda Gates Foundation—yang juga menjadi pusat perdebatan berkaitan dengan vaksin COVID-19. Banyak organisasi humaniter seperti Médecins Sans Frontières (MSF atau Dokter Tanpa Batas) sempat meragukan dampak negatif dari campurtangan lembaga amal semacam ini pada regulasi kebijakan kesehatan dunia.
Timbul anggapan serta pertanyaan-pertanyaan tentang “brand baru dari lama”, yaitu apakah Indonesia bakal menjadi sasaran dan laboratorium bagi uji coba kebijakan kesejahteraan dunia? Adakah mekanisme pengambilan keputusan kita yang benar-benar bebas guna menghalau campur tangan yang tak sejalan dengan tujuan negara? Pernyataan-pernyataan tersebut sungguh tepat diperbincangkan, terutamanya setelah memandang betapa sedikitnya partisipasi para peneliti dan profesional mandiri pada dialog politik kesehatan masyarakat di tanah air kami.
Indonesia Dalam Bidikan?
Fenomena-fenomena berturut-turut yang terjadi, termasuk keputusan-keputusan unik dalam struktur militer TNI, perselisihan antar mantan anggota militernya, serta kemungkinan penyalahgunaan kesejahteraan umum, menunjukkan suatu hipotesis penting untuk dipertimbangkan: apakah mungkin Indonesia sedang disusun sebagai sasarannya selanjutnya oleh strategi pengacauan skala dunia? Bahkan lebih jauh lagi, adakah kemungkinan bahwa Indonesia telah ditetapkan sebagai “The Center of Gravity” dan merupakan tujuan utama sejak awal?
Di berbagai situasi operasi strategis, lawan biasanya tak mengincar serangan eksternal langsung. Sebaliknya, mereka cenderung membubarkan daya dukung internal terlebih dulu, menyandera lembaga-lembaga penting, serta mendobrak keyakinan masyarakat pada TNI, pemerintahan, dan para pemimpin nasional. Melalui perspektif tersebut, meruntuhkan sinergi antara TNI menjadi taktik vital untuk menjatuhkan negara sebagai satu kesatuan.
TNI merupakan lambang dari kedaulatan negara. Apabila kekuatan TNI melemah, maka sistem perlindungan mental serta politik masyarakat juga bisa terganggu. Dengan demikian, setiap orang di Indonesia perlu memahami bahwa melindungi TNI tidak cuma tanggung jawab lembaga tersebut saja, tapi menjadi kewajiban bersama bagi seluruh bangsa. Kita seharusnya menghindari pandangan yang mengecilkan masalah penting ini seperti “perselisihan personal antara jenderal” atau “perubahan biasa dalam dunia militer.” Hal ini memiliki makna yang lebih luas dari sekadar itu.
Belum termasuk pula penurunan kinerja di bidang-bidang lain seperti pendidikan dan institusi keagamaan yang bisa jadi telah mulai dilanda kerusakan, dimulai dari pembubaran prinsip-prinsip utamanya. Kegagalannya bekerja secara optimal dalam dua area tersebut bisa saja mengindikasikan adanya masalah serius dan menjadi bukti kuat untuk mencapai suatu kesimpulan yang kurang menyenangkan.
Mengingat seluruh informasi yang tersedia, pertanyaan utama timbul: Apakah Presiden Prabowo dapat menyikapi berbagai hambatan tersebut dengan etika negara sejati? Bisa jadi malahan ia akan terperosok dan bergabung bersama para pelaku yang sengaja ataupun tanpa disadari turut meruntuhkan struktur kedaulatan negeri kita? Kewajiban Prabowo sangatlah rumit. Namun, sebagai pemimpin tertinggi, dia perlu membuktikan kapabilitasnya dalam membuat keputusan penting saat gelombang kesukaran melanda, daripada sekadar memantau aliran administratif pemerintah.
Kembali ke jalan yang cerdas dan penuh hikmah untuk kemajuan bangsa dan negara sesuai dengan tujuan awal kita, sepertinya merupakan solusi tepat dan bermanfaat saat ini. Salah satu tindakan yang bisa diperhitungkan lagi adalah memulihkan fungsi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Di masa dasar Konstitusi Indonesia, DPA merupakah lembaga vital yang menyediakan masukan bagi presiden terkait keputusan-keputusan strategis nasional. Lembaga ini tidak hanya sebagai pembantu, namun juga membawa integritas etika, status hukum di dalam doktrin konstitusi, serta perspektif mendalam tentang strategi besar. Perannya cukup berbeda dibandingkan Wantimpres atau Staf Khusus Presiden yang biasanya lebih condong bersifat politikal dan individual. Apalagi, DPA diklaim dapat menjalankan fungsinya secara optimal dan hemat waktu tanpa harus melakukan formalisme berlebih karena kedudukannya yang setara dengan sang Presiden.
Pada kondisi saat ini, adanya Dewan Perwakilan Angkatan (DPA) bisa bertindak sebagai pengontrol efektif terhadap cendrungannya pemerintahan pusat untuk mengumpulkan lebih banyak wewenang. DPA mampu menjelma menjadi platform penting yang ditempati oleh tokoh-tokoh nasionalis sesungguhnya—bukan aktivis partai politik—yang menempatkan kesejahteraan negeri di atas semua hal. Secara sederhana, DPA memegang peranan, tanggung jawab, serta misi sebagai bagian integral bangsa dengan Presiden sebagai institusi kenegaraan.
Menyatukan lagi peranan, tanggung jawab, serta fungsional institusi akademis dalam memberikan nasihat penting bagi pembentuk keputusan strategis negeri merupakan suatu keharusan mendesak yang wajib dikerjakan secara cepat. Hal itu tentunya harus dipraktikkan mulailah dari mengevaluasi situasi internal organisasi tersebut. Pemegang kendali dan pencetus ide di tempat ini mestilah orang-orang yang sungguh-sungguh kompeten, bijaksana, dan arif. Bukan para pemain kurang mutu seperti anggapan umum belaka. Namun prosesnya bukan perkara gampang. Siapa sanggup melancarkan transformasi ini? Implikasinya ialah mereka yang telah lama bertindak hanya menggunakan trik-trik politikal kosong, tipu muslihat melelahkan, dan gerilya tanpa makna akan digantikan oleh individu-individu lebih berkualitas. Adalah kita sudah bersiap untuk merombak sistem ini?
Indonesia Perlu Menjadi Negara Juara
Rakyat Indonesia tak bisa sekadar jadi penonton dalam pergantian geopolitik dunia yang kini terus bergerak dengan cepat. Kami mesti aktif sebagai pelaku sejarah, bukannya cuma obyek dari dinamika internasional tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin-pemimpin yang tangguh, bijaksana, dan memiliki semangat bermartabat. Selain itu dibutuhkan pula lembaga-lembaga yang kokoh dan sulit untuk dimanfaatin politis, serta proses pengambilan kebijakan didasarangi oleh rasionalitas dan kesungguhan hati.
Bisa jadi, tiba waktunya bagi negara ini untuk tidak lagi bergantung pada harapan bantuan dari pihak lain. Kami lah yang perlu memutuskan jalannya. Arah tersebut hanya dapat dipilih apabila kami bersatu, teredukasi dengan baik, serta siap menyongsong fakta realitas.
Pada akhirnya
,
Allah tidak akan merubah takdir suatu umat kecuali mereka sendiri yang berusaha.