Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lewat Pusat Penelitian Luar Angkasa, sedang mengawasi gerakannya kosmonavtika Kosmos 482 ini. Wahana tersebut adalah hasil peluncuran Uni Soviet—negara sebelumnya dikenal dengan nama Rusia—pada tahun 1972 lalu. Kini ada potensi benda itu akan turun menuju permukaan Bumi, mungkin bahkan mencapai wilayah Indonesia.
Wahana itu sebenarnya direncanakan untuk misi mendarat di Planet Venus, tetapi tidak berhasil mencapai orbit planet tersebut karena adanya masalah pada tahap terakhir peluncurannya. Kemudian wahana pendarat ini berubah menjadi limbah yang mengorbit Bumi selama 53 tahun lamanya, seperti dikatakan dalam situs web resmi BRIN.
Ketinggiannya terus menurun
Kepala Penelitian Antarktika dari Pusat BRIN, Thomas Djamaluddin, menyatakan bahwa Kosmos 482 sudah beredar di sekitar Bumi dengan jalur oval sejak misinya gagal mencapai Venus.
“Kosmos 482 merupakan pesawat ruang angkasa yang dirancang untuk misi mendarat di planet Venus, tetapi tidak berhasil mencapai Venus dan justru terus berada dalam orbit Bumi mulai bulan Maret tahun 1972,” katanya.
Pada saat ini, orbit benda tersebut semakin merosot ke tingkat ketinggian yang lebih rendah akibat resistansi atmosfir. Mulanya dari ketinggian mendekati 10.000 kilometer, namun sekarang telah turun menjadi sekitar 200 kilometer. Benda itu diperkirakan akan memasuki atmosfer dan jatuh dalam hitungan menit ketika ketinggiannya menyentuh seputar 120 kilometer.
Diduga modul pendarat dilengkapi dengan penutup panas dari titanium yang kokoh akan menumbuk bumi dalam satu kesatuan layaknya komet berkecepatan tinggi. Diperkirakan benda itu akan mengenai tanah pada sekitar tanggal 10 Mei 2025. Namun waktu serta lokasi pastinya masih tidak dapat ditentukan akibat adanya ketidaktetapan terhadap penghambatan atmosfir.
Terdapat kemungkinan terjatuh di Indonesia.
Melihat jalurnya yang melewati daerah dari 52 derajat lintang utara hingga 52 derajat lintang selatan, BRIN menganggap bahwa wilayah Indonesia berada di zona potensial untuk menerima jatuhnya sisa-sisa kendaraan luar angkasa itu.
“Karena berada di khatulistiwa dan mempunyai area yang begitu luas, Indonesia bisa saja mengalami jatohnya Kosmos 482. Akan tetapi, akurasi tentang posisi serta saat kemungkinan ini terjadi masih belum dapat ditentukan disebabkan oleh keraguan dalam hal pengaruh atmosfir,” imbuh Thomas selanjutnya.
BRIN mengklaim bahwa Balai Penelitian Luar Angkasa tetap memperhatikan jejak orbitnya seiring mendekatinya jarak kritis 120 kilometer. Monitor ini sangat diperlukan untuk merumuskan area yang kemungkinan besar akan menerima reruntuhan benda luar angkasa berdasarkan jalur final dari orbit tersebut.
Walaupun area Indonesia memiliki potensi untuk menjadi tempat jatuhnya benda Kosmos 482, kemungkinan besar akan mendarat di laut atau hutan. Peluangnya rendah untuk terjatuh di daerah yang padat penduduk, meski hal ini tetap perlu dipertimbangkan.
“Masyarakat tidak perlu khawatir, namun tetap waspada,” kata Thomas. Tidak ada satu pun negara yang bisa mengantisipasi jatuhnya sampah antariksa yang tak terkendali.
Kosmos 482
Kosmos 482 adalah komponen dari misi penjelajahan Planet Venus oleh Uni Soviet yang bernama Venera. Wahana tersebut mempunyai bobot kira-kira 1,2 ton. Awal mulanya, wahana ini terpecah menjadi empat segmen. Dua potongan kecil itu mendarat di Bumi tahun 1972. Sedangkan segmen lainnya yang lebih besar dan mencapai berat hampir 0,7 ton, berhasil mendarat pada bulan Mei tahun 1981.
Bagian yang tertinggal adalah modul pendaratan dengan bobot 0,5 ton. Desainnya berupa bola kecil bersertifikat diameter kira-kira satu meter dan dibuat begitu tangguh agar bisa melewati atmosfer planet Venus tanpa rusak, diperkirakan masih integral ketika mendarat. Dampak panas dari atmosfer Bumi bakal membuat objek ini terlihat seperti meteor besar saat jatuh, mirip bola api yang melaju pesat di langit.
Peristiwa Kosmos 482 mengingatkan kita tentang kebutuhan mendesak untuk memantaunya objek-objek luar angkasa yang sudah tak berfungsi lagi, karena bisa membahayakan kemanusiaan. Di samping itu, insiden ini menunjukkan seberapa vital kolaborasi global dalam merawat limbah ruang angkasa serta menciptakan sistem pelacakannya.