Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk mengevaluasi efek dari penerapan peningkatan royalti mineral sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh kondisi kontraksi yang dialami sektor pertambangan pada tiga bulan awal tahun ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara dari Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengungkapkan bahwa performa buruk industri pertambangan dipicu oleh penurunan permintaan serta harga nikel di pasaran internasional. Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik, sektor tambang adalah satu-satunya area yang mencatat kontraksi 1,23% secara year-on-year selama periode Januari hingga Maret 2025.
“Kemerosotan ini terjadi karena peningkatan dalam pasokan nikel global serta harga jualnya ikut anjlok di luar negeri,” ujar Tri saat berada di gedung DPR pada hari Selasa, 6 Mei.
Tri mengatakan bahwa Indonesia menyediakan 65% dari kebutuhan nikel dunia. Selain itu, sebesar 65% dari seluruh ekspor Indonesia, yang setara dengan 42,25% suplai nikel global, terdiri atas besi Stainless Steel/SSC yang diekspor ke Cina.
- Prediksi Harga Nikel Dunia Jatuh Karena Konflik Dagang Antara AS dan Cina
- Integrasi nikel di Indonesia tidak terpengaruh meskipun LG meninggalkan proyek baterai tersebut.
- Pemimpin United Tractors (UNTR) Mengungkapkan Pengaruh Peningkatan Tarif Hak atas Hasil Produksi terhadap Performa Bisnisnya
Ia mengatakan bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina telah menyebabkan penurunan permintaan untuk baja tidak korosif secara lokal. Situasi ini menciptakan kelimpahan suplai nikel di negara kita sendiri dan pada gilirannya memicu pelemahan harga internasional.
“Kemungkinan ini terjadi lantaran permintaan untuk besi tuangan tidak karbon atau nikel dalam negeri mayoritas diekspor ke Cina. Mengingat kondisi yang sedang lesu di pabrik-pabrik China saat ini, hal tersebut mungkin menjadi penyebab perlambatan pada sektor pertambangan nasional,” ungkapnya.
Sebaliknya, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2025 sudah meningkatkan tarif royalti ratarata logam nikel hingga 16,4%. Mengingat situasi sektor pertambangan dunia, Komisi XII DPR memerintahkan Tri agar mengevaluasi efek dari pelaksanaan aturan ini.
Tri mengatakan bahwa kajian bisa diselenggarakan melalui metode wawancara, diskusi, ataupun penganalsiran laporan secara mendalam. Dia berpendapat bahwa temuan dari studi ini akan mempengaruhi jalannya pelaksanaan PP No. 19 Tahun 2025.
Namun, Tri berencana memperluas studi itu ke mineral lain di luar nikel, terutama bauksit. Hal ini karena Tri menyadari bahwa para penambang nikel tidak menderita kerugian setelah diberlakukannya PP No. 19 Tahun 2025.
“Nikel mineranya tidak mengalami kerugian tetapi penghasilan mereka menurun. Sudahlah, masalah terkait nikel telah selesai dengan diberlakukannya PP No. 19 Tahun 2025,” katanya.