Luka yang Tidak Terlihat: Trauma pada Anak dan Cara Mengenali serta Mendampinginya
Tidak semua luka bisa terlihat dengan mata. Luka fisik seperti di lutut atau tangan mungkin mudah dikenali, tetapi bagaimana dengan luka emosional yang tidak terlihat? Anak-anak yang hidup dalam lingkungan yang tidak aman sering kali menyimpan trauma yang sulit dikenali. Sayangnya, luka semacam ini sering kali diabaikan karena tidak memiliki tanda fisik yang jelas.
Trauma bisa muncul dalam berbagai bentuk. Beberapa anak menjadi sangat tenang dan patuh, sementara yang lain justru menunjukkan perilaku impulsif, marah-marah, atau tidak bisa diam. Si Kecil jarang mengungkapkan isi hati karena terbiasa mengamati dan bertahan hidup. Di sinilah dampak trauma mulai menumpuk tanpa kita sadari. Oleh karena itu, mengenali trauma sejak dini sangat penting agar luka tersebut tidak terbawa hingga masa remaja atau dewasa.
Ciri-Ciri Trauma yang Sering Disalahartikan
Secara klinis, gejala seperti emosi labil dan prestasi akademik yang menurun sering dikaitkan dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Namun, tahukah Bunda bahwa hal ini juga bisa menjadi tanda trauma pada anak? Trauma sering kali menyerupai gangguan lain, seperti ADHD. Anak yang terlalu tenang atau sangat aktif bisa saja sedang menyimpan luka emosional.
Menurut para ahli, kuncinya ada pada konteks. Apakah perilaku anak muncul karena otaknya berkembang berbeda sejak awal atau karena ia sedang beradaptasi dengan rasa takut yang belum selesai? “Anak-anak ini tidak punya konteks untuk meminta bantuan,” kata profesor psikiatri dari Harvard Medical School, dr. Rappaport.
Banyak anak dengan trauma juga mengalami Adverse Childhood Experiences (ACEs), seperti kekerasan atau kehilangan. Oleh karena itu, penting memahami latar belakang mereka sebelum memberi label. “Mereka tidak punya contoh bahwa orang dewasa bisa mengenali kebutuhan mereka dan memberikan apa yang mereka perlukan,” ujarnya.
Bagaimana Trauma Mengubah Otak Anak
Secara sederhana, otak anak bisa diibaratkan seperti buah persik. Bagian tengahnya, yaitu sistem limbik, berperan dalam rasa takut dan reaksi bertahan hidup. Sementara itu, bagian luarnya, korteks prefrontal, mengatur kemampuan berpikir, merencanakan, dan mengendalikan emosi. Dalam kondisi normal, kedua bagian ini bekerja seimbang.
Namun, saat anak mengalami stres berkepanjangan, otak masuk ke mode darurat. Energi fokus ke sistem limbik, membuat bagian berpikir jadi kurang aktif dan anak sulit mengontrol perilaku.
Gejala Trauma pada Anak yang Sering Diabaikan
Trauma bisa membuat otak anak sulit berfungsi secara normal. Akibatnya, anak menunjukkan berbagai gejala, seperti:
- Mudah marah dan tersinggung.
- Bertindak impulsif atau agresif.
- Sulit fokus dan memperhatikan.
- Sering lupa atau sulit mengingat informasi.
- Menarik diri dari lingkungan sosial.
- Sulit mengikuti instruksi.
- Prestasi akademik menurun.
Cara Mendampingi Anak yang Mengalami Trauma
Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendampingi anak yang mengalami trauma:
-
Ciptakan suasana aman dan tenang
Anak perlu merasa lingkungan di sekitarnya bisa dipercaya. Jangan paksa anak untuk bercerita, cukup hadir dan tunjukkan bahwa Bunda peduli. -
Dengarkan tanpa menyela
Biarkan anak mengekspresikan perasaannya dengan bebas. Tahan keinginan untuk langsung memberi nasihat atau menyalahkan. -
Gunakan bahasa yang sederhana dan lembut
Pilih kata-kata yang mudah dimengerti. Nada suara yang tenang membuat Si Kecil lebih mudah merasa diterima. -
Gunakan alat bantu visual untuk rutinitas
Jadwal bergambar atau instruksi visual membantu anak merasa lebih terarah dan tenang dalam keseharian. -
Tunjukkan contoh nyata dalam mengatur emosi
Anak belajar dari melihat orang dewasa. Saat sedang kesal, tunjukkan bagaimana Bunda merespons dengan tenang dan tidak meledak. -
Validasi emosi anak sebelum menegur perilakunya
Mengakui perasaan anak sebelum menegur perilakunya bisa membuat mereka merasa dimengerti. Hal ini membantu anak belajar menamai emosinya dan menyalurkan dengan cara yang lebih sehat. -
Pahami bahwa perilaku buruk bisa jadi sinyal luka batin
Perilaku buruk anak sering kali berasal dari emosi yang belum tersampaikan dengan baik. Penting melihat di balik perilaku anak, bukan hanya reaksi luarnya. -
Hindari hukuman keras sebagai respons pertama
Daripada langsung memberi skorsing, cari tahu akar dari perilakunya. Karena sering kali, perilaku buruk adalah cara anak menyampaikan rasa sakit yang tak terucap. -
Bangun kembali kepercayaan dan koneksi sosial
Dorong anak untuk menjalin kembali hubungan dengan teman dan aktivitas yang disukai. Koneksi sosial dapat membantu proses pemulihan dan membangun kembali rasa percaya diri anak. -
Berikan waktu dan kesabaran tanpa syarat
Pemulihan dari trauma tidak instan. Anak butuh orang dewasa yang sabar dan tidak menyerah saat mereka berperilaku sulit. Dukungan yang konsisten dapat membuat anak merasa aman untuk mulai pulih perlahan.