KASUS dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menjadi trending topic di mana-mana. Nyaris semua media, dipenuhi head-line mengenai topik ini.
Phenomenon ini perlu diteliti tidak hanya sebatas masalah hukum administratif, tetapi juga sebagai gejala komunikasi politik yang lebih mendalam: krisis kepercayaan publik, delegitimasi simbolik, serta politik pasca-kebenaran yang saat ini menggerogoti demokrasi di Indonesia.
Teoretis, hal ini sesuai dengan pemikiran Brian McNair bahwa politik modern sangat dipengaruhi oleh pengendalian narasi. Dalam situasi ini, mereka yang mencoba menunjukkan ketidakvalidan diploma mungkin menggunakan masalah tersebut untuk mendebalidikan lawannya. Sebaliknya, pendukung Jokowi berusaha memelihara narasi keabsahan. Sedangkan di antaranya, publik terpecah tidak disebabkan oleh fakta, melainkan akibat dari asosiasi politik serta persepsi yang diciptakan (khususnya) lewat media sosial.
Kontroversi terkait ijazah Jokowi muncul pertama kalinya ketika beberapaaktivis dan sekelompok orang lainnya menantang validitas dokumendari pendidikan Presiden Jokowi saat itu, yaitu dariUniversitas Gadjah Mada (UGM). Fenomena tersebut bisa saja berkaitandalam hal penelitian tentang komunikasi politik, yakni sebagai bagian daripersyaratan delegitimasi simbolik—proses pembentukan cerita negativuntuk merusak otoritas moral musuh politik Anda (Jagers & Walgrave,2007).
Narratif tentang hilangnya legitimasi ini mendapat tenaga pendorong dari sifat media sosial yang membolehkan penyebaran informasi secara cepat tanpa adanya proses pengendalian. Konsep teka-teki spirali kediaman oleh Noelle-Neumann menjelaskan bagaimana pandangan tertentu dapat berubah menjadi seperti mencerminkan suara mayoritas padahal hanya representasi minoritas saja yang keras dan aktif. Di saat bersamaan, media massa konvensional, yang idealnya harus menstabilkan situasi tersebut, malah cenderung terjerumus pada praktik optimisasi jumlah klik, sehingga mempertinggi isu-isu tanpa memberikan pembenaran atau keterangan yang cukup.
Tabiat Era Post Truth
Sebaliknya, kerumitan terkait dengan diploma palsu Presiden Joko Widodo justru mengeraskan dominasi pola pikir politik post-truth di Tanah Air ini. Di mana perasaan dan keyakinan, bersama-sama dengan kurangnya transparansi, menjadi faktor penentu utama dalam sudut pandang politik warga negara dibandingkan dengan kenyataan yang bisa diverifikasi secara obyektif. Kejujuran nyaris lenyap tanpa bekas akibat dari persilangan beragam motif atau bahkan manipulasi.
Menurut Ralph Keyes (2004), politik post-truth menghasilkan kenyataan yang ditentukan oleh cerita daripada fakta. Masyarakat cenderung lebih meyakini klaim bahwa gelar akademis Jokowi adalah palsu tanpa adanya bukti substansial, hanya karena mereka belum pernah menerima informasi resmi yang menegaskan keaslian dokumen tersebut.
Viralitas ini kembali muncul karena adanya kesenjangan dalam hal tidak ada upaya penjelasan langsung dari Jokowi tentang fakta sebenarnya. Bukti nyata adalah bahwa ijazah yang dia miliki (yang disebut-sebut otentik) hanya ditampilkan bagi para jurnalis dan warga yang telah diundang ke tempat tinggalnya. Bahkan, pengunjuk rasa tersebut dilarang mengambil foto daripadanya.
Hilangnya Kejujuran
Dalam kerangka komunikasi politik zaman now, kesungguhan serta ketulusan para insan terpublik tidak hanya menjadi syarat etis semata, tetapi juga jadi pondasi penting untuk mendapatkan dukungan politik. Konsep membangun kepercayaan di bidang komunikasi politik menggariskan bahwa reputasi seseorang yang berperan sebagai pemimpin ataupun tokoh politik besar dipengaruhi oleh bagaimana masyarakat melihat nilai-nilai integritas dan kemurahan hatinya (Hetherington, 2005).
Saat para tokoh publik menyampaikan informasi dengan transparansi dan kejujuran, aliran komunikasi politik menjadi saling melengkapi — tidak lagi semata-mata perintah dari penguasa kepada rakyat, tapi bersifat interaktif yang membuat masyarakat dapat turut serta sebagai pelaku politik. Di sisi lain, apabila terdapat indikasi penyelewengan atau penyajian data palsu layaknya skandal ijazah fiktif tersebut, hal itu bisa menimbulkan krisis legitimitas tak cuma bagi individunya saja, namun juga seluruh sistem demokrasi yang mereka wakili.
Selanjutnya, keterbukaan para tokoh publik bertindak sebagai suatu sistem kontrol
checks and balances
Informal di dalam sistem politik kontemporer. Komunikasi politik yang efektif membutuhkan keterbukaan publik atas data asli agar jalannya debat demokratis bisa berlangsung secara logis (Habermas, 1989).
Saat figur-figur politik menyembunyikan latar belakang pendidikan mereka, harta kekayaan, atau keputusan penting lainnya, hal ini mengganggu ranah publik yang semestinya berfungsi sebagai tempat untuk menukar gagasan kritis. Dalam konteks ilmu komunikasi politik, permintaan masyarakat supaya para pemimpin bersikap jujur dan transparan tidak boleh diartikan sebagai serangan pribadi; sebaliknya, ini merupakan ekspresi positif dari pengawalan demokratis.
Simptom Krisis Legitimasi
Menurut pandangan Pierre Bourdieu, otoritas dalam bidang politik tidak bergantung semata-mata pada kekuatan resmi, melainkan juga dipengaruhi oleh modal simbolik seperti keyakinan dan martabat. Jika reputasi positif serta transparansi sang pemimpin tercoreng akibat tindakan yang ceroboh di ranah politik, hal ini dapat mengganggu kedudukan mereka secara formal maupun status moral mereka.
Kontroversi tentang ijasah Jokowi mewakili perbedaan di antara kalangan elit politik yang berusaha menjaga posisi mereka dan rakyat yang semakin pesimistis terhadap lembaga pemerintahan. Tidak ada kebetulan bahwa masalah ini muncul bersamaan dengan peningkatan kritikan atas praktik kerajaan keluarga, suap-menyuap, serta tirani yang telah berkembang sejak akhir masa jabatan Jokowi sampai saat ini.
Dari sudut pandang komunikasi politik kritis, hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan umum kita telah dipenuhi dengan rasa tidak percaya dan pesimisme. Menurut Habermas, ruang publik seharusnya dijadikan tempat untuk berdiskusi secara logis. Tetapi saat ini, ruang publik di Indonesia tampak seperti pertandingan penyebaran informasi palsu, kepalsuan, serta perilaku tanpa mempedulikan batasan-batasannya—yang tentunya menjauhkan realitas dan kebenaran dari perdebatan tersebut.
Kegagalan Edukasi Politik
Heboh kontroversi keaslian ijazah Jokowi merupakan tanggung jawab media arus utama. Alih-alih menjadi penjaga kebenaran (watchdog), banyak media justru menjadi amplifier bagi diskursus liar yang tak berlandaskan rasionalitas. Ini sejalan dengan kritik Daniel Hallin & Paolo Mancini dalam teori sistem media, bahwa media di negara demokrasi baru seperti Indonesia cenderung oligarkis dan partisan.
Akibatnya, publik Indonesia yang secara umum masih rendah literasi media dan politiknya mudah terombang-ambing oleh berbagai kontroversi yang bagai bola liar. Laporan UNESCO (2023) menyebutkan bahwa indeks literasi media Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Ini membuat hoaks dan kontra hoaks politik mudah menyebar tanpa pengelolaan yang mencerahkan.
Politik pendidikan seharusnya jadi pelindung keterbukaan pikiran malah tak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Parpol lebih terfokus pada perebutan kekuasaan daripada mendidik pemilih mereka. Akhirnya, arena perdebatan umum didominasi oleh individu-individu bukan negara seperti buzzer, pengaruh media sosial, dan youtuber politik yang sering kali menyebar informasi salah.
Agar dapat melewati masa kesulitan ini, yang dibutuhkan bukan hanya penjelasan mengenai aspek hukum saja. Baru-baru ini, kita telah menyaksikan Jokowi menyerahkan kasus Joko Suryo dan kawan-kawannya kepada pihak kepolisian. Yang lebih penting lagi ialah merombak sepenuhnya sistem komunikasi politik kita. Hal tersebut dapat dicapai dengan tekad nyata negara untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang media. Maka pendidikan anti-mitos seharusnya menjadi tujuan utama nasional, tidak cukup hanya sebagai ritual formal.
Kedua, aturan mengenai platform digital harus disempurnakan. Undang-Undang ITE yang sebelumnya banyak digunakan untuk menekan kritikan, idealnya difokuskan pada pencegahan penyebaran informasi salah tentang politik. Kerjasama dengan perusahaan-perusahaan seperti Meta dan Google harus ditingkatkan sehingga cerita-cerita hoax seperti ijazah palsu tidak mudah tersebar luas.
Selanjutnya, partai politik perlu kembali ke fungsinya semula sebagai pendidik politik bagi masyarakat. Untuk itu, diperlukan reformasi di dalamnya sehingga partai tidak lagi menjadi mesin pemilihan saja, melainkan juga tempat pembelajaran politik yang mendidik.
Keempat, kita perlu mendorong media massa agar kembali pada pedoman jurnalisme penuh verifikasi dan tidak hanya fokus pada meningkatnya jumlah pengunjung situs web. Dewan Pers beserta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seharusnya memperketat pemantauan terhadap siaran-siaran tentang isu-isu politik yang bisa menyebabkan kesalahpahaman.
Menimbang Diskursus Politik
Pertentangan mengenai ijazah palsu Jokowi sesungguhnya lebih dari sekadar masalah dokumen; ia mencerminkan kualitas dialog politik di negeri kita. Apabila masyarakat terus fokus pada hal-hal serupa, demokrasimu akan berlarut-larut pada tingkat debat identitas dan penyangkalan sah-sah saja, daripada persaingan antara pemikiran dan konsep-konsep baru.
Kontroversi dokumen akademik mantan tokoh penting ini mengajarkan bahwa demokrasi tanpa pengetahuan cukup sangat mudah dimanipulasi oleh cerita-cerita tidak benar serta kurangnya rujukan yang adil dan faktual. Indonesia perlu untuk dengan tegas menyelesaikan debat ini sepenuhnya, tak sekadar dalam persidangan, melainkan juga di tingkat kesadaran politik publik.
Oleh karena itu, sumber daya nasional bisa dialihkan kembali untuk membahas perdebatan-perdebatan yang lebih mendalam: masalah perekonomian masyarakat, keadilan dalam sistem hukum, pendidikan berkualitas tinggi, politik tanpa suap menyuap, serta komitmen tulus dan konsisten melawan korupsi bertingkat banyak. [*]