PIKIRAN RAKYAT
– Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, berbagi pendapatnya sendiri terkait posisi direktur, komisar, serta Dewan Pengawas di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pasca diterapkannya UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN.
Menurut Johanis, setelah undang-undang itu resmi dijalankan pada tanggal 24 Februari 2025, secara hukum direktur, komisaris, serta Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak akan lagi termasuk kategori penyelenggara negara seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Tentang TindakPidana Korupsi (UU Tipikor).
Menurut pendapat saya secara pribadi, semua individu harus mematuhi peraturan hukum yang ada di Negara Republik Indonesia, termasuk ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 mengenai Badan Usaha Milik Negara,” ungkap Johanis melalui pernyataan tertulis pada hari Selasa, tanggal 6 Mei 2025.
Implikasi Terhadap Kewenangan KPK
Johannis mengacu pada Pasal 9G Undang-Undang Perseroan Terbatas Milik Negara (UU PTNB) yang menegaskan bahwa anggotadirektur, komisaris, serta Dewan Pengawas PTNB tidak termasuk sebagai pejabat negara.
Ini dapat mempengaruhi wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena Pasal 11 ayat (1) dari Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK menetapkan bahwa badan anti-rasuah tersebut memiliki otoritas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pengawalan perkara terkait tindakan pidana korupsi yang mencakup aparatur penegak hukum, penyelenggara negara, dan entitas lainnya yang relevan, termasuk kasus-kasus yang menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar setidaknya Rp1 Milyar. Berdasarkan undang-undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baru-baru ini, diperlukan pertimbangan ulang oleh KPK dalam hal batas wilayah atau ranah operasi mereka pada kasus-kasus yang melibatkan pegawai BUMN.
“Oleh karena itu dari segi hukum, Direktur, Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak dianggap sebagai pejabat publik sesuai dengan yang disebutkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, mulai berlaku sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025,” jelasnya.
Johannis juga menyatakan bahwa ide tentang badan hukum swasta semacam Perusahaan Terbatas (PT) menggariskan perbedaan antara aset milik negara yang dimasukkan sebagai sumbangan modal dengan properti PT sebagai subjek hukum tersendiri.
“Oleh karena itu, dana pemerintah yang dikirim sebagai investasi di dalam PT (Persero) kini berubah menjadi aset perusahaan tersebut sebagaimana badan hukum swasta,” jelas Johanis.
“Sebagai entitas hukum swasta, direksi, komisari, dan dewan pengawas yang merupakan bagian dari PT (Persero) tidak bisa dianggap sebagai penyelenggara negara. Hanya organ dari badan hukum publik saja yang memenuhi kriteria tersebut,” jelasnya lebih lanjut.
Pengecualian untuk Kasus Lama
Namun demikian, dia mengklarifikasi bahwa kejadian hukum yang telah terjadi sebelum pelaksanaan Undang-Undang BUMN Tahun 2025 masih bisa diurus sesuai dengan peraturan hukum yang ada.
“Masih dapat dilanjutkan prosesnya permasalahan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, sesuai dengan aturan dalam UU Tipikor,” jelas Tanak.
Johannis menggarisbawahi bahwa penilaian tentang layak atau tidaknya direktur dan komisari BUMN dijadikan tersangka dalam kasus tindakan pidana korupsionil (Tipikor) masih harus memperhitungkan latar belakang pelaksanaan perbuatan tersebut.
“Bila tindakannya mencirikan dirinya sebagai koruptor, maka bisa dijerat sesuai dengan Undang-Undang Antikorupsi. Warga umum yang bukan pegawai negeri juga bisa dituntut berdasarkan aturan dalam UU Antikorupsi selama apa yang dilakukan melanggar pasal-pasal dari undang-undang tersebut,” jelasnya.