Kekuasaan Politik dan Tantangan Konstitusi di Indonesia
Dalam dua pekan terakhir, saya merenung. Saya menangkap ada pesan politik yang sistematis dari para politisi di Senayan. Di Harian Kompas, Sabtu, 5 Juli 2025, saya melihat foto bekas hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan Taufik Basari yang diundang oleh Komisi III DPR untuk memberikan pandangan mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) teranyar yang memisahkan pemilu presiden dan pemilu lokal. Foto tersebut hampir sepertiga halaman koran.
Support kami, ada hadiah spesial untuk anda.
Klik di sini: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Patrialis, yang pernah dihukum dalam kasus korupsi, diundang sebagai ahli oleh Komisi III DPR. Ia menilai putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertentangan dengan konstitusi. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman (Gerindra, Jakarta I) mengatakan bahwa rapat yang diadakan oleh Komisi III DPR itu bukan untuk menyudutkan Mahkamah Konstitusi.
Partai politik memang gerah dengan putusan MK. Nasdem berteriak keras, menyebut putusan MK tidak konstitusional sehingga tidak mengikat. Padahal, konstitusi menegaskan bahwa putusan MK adalah final dan mengikat. Adu kuat antara partai-partai di DPR dan Mahkamah Konstitusi bisa berujung pada krisis konstitusi jika dibiarkan.
Sebelumnya, menjelang pemilu 2024, MK mempermudah syarat usia untuk menjadi calon wakil presiden. Putusan ini memuluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Terbukti ada pelanggaran etika hakim konstitusi, tetapi kita harus tunduk dan hormati putusan MK, seberat apapun putusan itu.
Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/
Seharusnya putusan MK dihormati karena itulah perintah konstitusi. Jika partai politik justru mendorong agar putusan MK tidak dihormati, maka akan mengancam konstitusi dan demokrasi. Sebelumnya, dalam kesempatan berbeda, Habiburokhman menyindir sembilan hakim konstitusi. “Kita capek membuat undang-undang, tapi dengan mudah dibatalkan sembilan hakim konstitusi,” ucap dia.
Keluhan ini bukan baru. Jauh sebelumnya, Ketua Komisi III DPR saat itu, Bambang Wuryanto (PDIP, Jawa Tengah IV), menganalogikan DPR sebagai pemegang saham dan hakim konstitusi sebagai direksi. Jika direksi tidak tunduk, maka pemegang saham bisa menggugat. Hakim konstitusi pun tak luput dari “recall”—mekanisme yang secara konstitusional tidak tersedia.
Komisi III me-“recall” hakim konstitusi Aswanto karena dianggap “mbalelo” dalam putusan UU Cipta Kerja. Aswanto kemudian digantikan Guntur Hamzah. Proses itu tidak prosedural. Politik kekuasaan tengah menjadi panglima. Tanpa perlawanan. Tanpa gugatan. Semua tunduk dan patuh.
DPR juga membuat aturan internal bernama tata tertib. Tatib itu memberikan wewenang pada DPR untuk bisa mengevaluasi pejabat yang dipilih oleh DPR melalui fit and proper test. Artinya, hakim agung, hakim konstitusi, ketua KPK, kapolri, bisa dievaluasi oleh DPR. DPR seperti kepanjangan tangan dari eksekutif.
Terbaru dalam uji materi UU TNI, baik DPR dan Pemerintah, kompak bersikap satu suara: pemohon uji materi tidak representatif. Penggugat berstatus mahasiswa dan ibu rumah tangga. Mereka bukan anggota TNI, bukan calon prajurit, sehingga dianggap tidak representatif sebagai penguji materi UU TNI.
Lha, terus siapa yang boleh menguji materi terkait dengan UU TNI? Siapa yang berhak menguji materi UU BUMN, misalnya? Harus pejabat BUMN?
Jawabannya jelas tidak! Setiap warga negara yang mengalami kerugian konstitusional bisa melakukan uji materi. Tak dibatasi profesi, jabatan, atau afiliasi. Apalagi mereka sama-sama pembayar pajak.
Negeri ini kerap berstandar ganda. Dulu, ketika mahasiswa Universitas Surakarta, Almas Tsaqilbbiru, mengajukan gugatan syarat usia capres dan membuka jalan bagi Gibran maju sebagai calon wapres, legal standing mahasiswa dalam uji materi syarat usia diterima. Kenapa sekarang legal standing mahasiswa dan ibu rumah tangga dipersoalkan? Padahal menguji materi UU ke MK adalah jalan konstitusional.
Menghadapi uji materi UU TNI, DPR dan Pemerintah datang dengan tim penuh. Ada Ketua Komisi I DPR Utut Adiyanto (FPDI, Jateng VII) dan Ketua Baleg Bob Hasan (Gerindra, Lampung II). Ada dua menteri, Supratman Andi Agtas (Menteri Hukum) dan Sjafrie Sjamsoeddin (Menhan) dan dua wamen Eddy Hiariej dan Donny Ermawan.
“Ini luar biasa. Biasanya kalau persidangan di MK, saat agenda keterangan pemerintah, yang datang dirjen,” ujar Suhartoyo, Ketua MK. Datang ke MK memberikan keterangan dengan tim penuh adalah positif. Semoga untuk uji materi semua UU demikian adanya.
Mahkamah kadang dipuji. Kadang dimaki, tapi putusannya harus diikuti. Ketika MK tidak sejalan dengan aspirasi elite, lembaga ini langsung diseret ke palung delegitimasi dan dibayang-bayangi “recalling”. Ini inkonsistensi sikap. Bukan mengacu pada konstitusi. Bukan pada nilai, tapi pada kepentingan sesaat.
Saya menelisik jauh ke dalam saat perdebatan perubahan konstitusi dirumuskan. Jakob Tobing dalam disertasinya di Leiden menulis mengutip Hans Kelsen, dengan mengadopsi prinsip pengujian konstitusionalitas. Ia hendak memastikan setiap statuta yang dibuat melalui proses legislatif tidak menyalahi konstitusi. MK melindungi demokrasi dari ancaman eksesnya sendiri.
MK diadopsi karena efeknya yang kontra mayoritas dengan kemampuannya melindungi nilai substansi demokrasi dari badan terpilih. Maka, kedaulatan rakyat akan selalu ditundukkan pada konstitusi. Bila semua UU ditentukan oleh parlemen, maka tidak dibutuhkan institusi legislasi lain. Namun karena parlemen juga berpotensi menyimpang, konstitusi menciptakan institusi terpisah bernama Mahkamah Konstitusi.
Bangsa ini sebenarnya sedang di persimpangan jalan. Jalan politik atau jalan konstitusi. Negara hukum atau negara kekuasaan. Inilah pertarungan diam-diam antara dua kutub: supremasi konstitusi dan supremasi politik. Dan dalam pertarungan itu, kekuasaan tidak selalu berada di sisi hukum.
Politik Jadi Panglima
Apa yang terjadi adalah gejala klasik ketika kekuasaan tak mau dikontrol. Politik ingin menjadi panglima, bukan dijaga oleh aturan. Bukan dijaga oleh konstitusi. Jika aturan menghambat, maka aturan itu diubah, disesuaikan dengan selera kekuasaan.
Mau contoh? UU Kementerian Negara diubah agar jumlah menteri bisa ditambah. UU BUMN direvisi ketika ada keinginan direksi dan komisaris BUMN dilepaskan statusnya sebagai penyelenggara negara. Penyelenggara adalah obyek korupsi KPK.
Dalam teori constitutionalism, Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir agar kekuasaan tidak berjalan liar. Namun hari ini, benteng itu justru dipersoalkan. Dalam teori delegative democracy (O’Donnell), kekuasaan cenderung merasa hanya bertanggung jawab pada pemilu—bukan pada norma, bukan pada hukum.
Ketika sudah menang, maka semua boleh. Negara adalah kehendak yang berkuasa. Pikiran itu tidak tepat karena konstitusi adalah kontrak sosial bangsa. Lebih jauh lagi, ini juga bisa dibaca dengan kerangka state capture: ketika institusi negara, termasuk pengadilan, coba dikooptasi melalui tekanan politik agar sejalan dengan kepentingan elite.
Ketika suara dikendalikan, ketika lembaga dikondisikan karena berbeda sikap, maka negeri ini perlahan kehilangan keseimbangan. Kekuasaan tak bisa disangkal, padahal ia mestinya terus diawasi. “Negara tidak dibangun untuk menidurkan warga, tapi membangkitkan kesadaran mereka.”
Maka, pertanyaan bagi kita: siapa yang akan membangunkan negeri ini, ketika negara bisa menyadap semua percakapan warga negara? Ketika orang yang mengingatkan disingkirkan, apakah kita akan terus tertidur dalam kesadaran palsu? Ketika ada yang mempersoalkan ke jalur hukum dikondisikan agar gugatannya dibatalkan.
Ada dua pola di tangan: dikooptasi untuk sama-sama menikmati nikmat kekuasaan atau diintimidasi agar tidak merecoki kekuasaan…? Hukum bukan pengganggu. Ia penjaga. Dan ketika penjaga mulai disalahkan, maka pertanda negeri sedang lelap… dalam kekuasaan.
John Locke mengatakan, “di mana hukum berakhir, di situ tirani bermula.” Adapun Thomas Paine menulis, “hukum adalah raja.” John Adams mempopulerkan pemikiran, “pemerintahan hukum, bukan manusia.” Gagasan sentral di atas terfokus pada, “hukumlah yang memerintah, bukan manusia.”