Jika seseorang menunjukkan 7 kebiasaan ini, kemungkinan besar mereka berpura-pura lebih kaya dari yang sebenarnya menurut psikologi

by

Di era media sosial dan budaya pamer yang semakin kuat, persepsi tentang “kaya” sering kali tidak lagi selaras dengan realitas. Banyak orang terlihat hidup nyaman, serba mewah, dan seolah tanpa beban finansial.

Namun menurut psikologi sosial, tampilan luar tidak selalu mencerminkan kondisi keuangan yang sesungguhnya.

Faktanya, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sebagian orang justru berusaha terlihat kaya sebagai mekanisme kompensasi—baik untuk menutupi rasa tidak aman, tekanan sosial, maupun kebutuhan akan pengakuan. Menariknya, perilaku ini sering muncul dalam pola-pola tertentu yang berulang.

Dilansir dari Geediting pada Rabu (24/12), jika seseorang secara konsisten menunjukkan kebiasaan berikut, ada kemungkinan mereka sedang berpura-pura lebih kaya daripada kondisi sebenarnya—bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami dinamika psikologis di baliknya.

1. Terobsesi Menampilkan Barang Bermerek Secara Berlebihan

Orang yang benar-benar mapan secara finansial biasanya tidak merasa perlu terus-menerus menunjukkan merek yang mereka pakai. Sebaliknya, menurut psikologi konsumsi, obsesi pada logo dan merek mahal sering berkaitan dengan kebutuhan validasi eksternal.

Ketika seseorang selalu menonjolkan sepatu, tas, jam, atau gadget bermerek—bahkan dalam situasi yang tidak relevan—itu bisa menjadi sinyal bahwa nilai diri mereka sangat bergantung pada simbol status, bukan stabilitas nyata.

2. Sering Membicarakan Uang dan Gaya Hidup Mewah

Psikologi menyebut fenomena ini sebagai compensatory signaling. Orang yang merasa kurang dalam satu aspek cenderung lebih vokal membicarakannya.

Jika seseorang sering:

Menyebut nominal harga

Membandingkan gaya hidup

Mengklaim “biasa saja” sambil menyelipkan cerita mahal

itu bisa menjadi upaya tidak sadar untuk meyakinkan orang lain—dan diri sendiri—bahwa mereka berada di kelas ekonomi tertentu.

3. Aktif Pamer di Media Sosial, Tapi Tidak Konsisten di Dunia Nyata

Media sosial adalah panggung ideal untuk membangun citra. Menurut psikologi identitas, jarak antara persona online dan realitas offline sering menjadi petunjuk penting.

Ciri-cirinya antara lain:

Feed penuh kafe mahal dan liburan

Sering check-in tempat eksklusif

namun di kehidupan nyata:

Mengeluh soal keuangan

Menghindari tanggung jawab finansial dasar

Ketidaksinkronan ini kerap menunjukkan bahwa kemewahan tersebut bersifat sementara atau bahkan hasil utang.

4. Menggunakan Utang Konsumtif untuk Menjaga Citra

Salah satu indikator paling kuat menurut psikologi finansial adalah pola utang yang digunakan bukan untuk produktivitas, melainkan penampilan.

Contohnya:

Cicilan panjang demi barang gaya hidup

Kartu kredit dipakai untuk kesan, bukan kebutuhan

Takut kehilangan “image” jika menurunkan standar tampilan

Orang yang stabil secara finansial cenderung memprioritaskan ketenangan, bukan kesan.

5. Sangat Sensitif Saat Status Finansialnya Dipertanyakan

Reaksi emosional yang berlebihan—defensif, tersinggung, atau merendahkan orang lain—sering menjadi mekanisme perlindungan ego.

Dalam psikologi, ini dikenal sebagai ego defense mechanism. Ketika seseorang benar-benar aman dengan kondisinya, mereka tidak merasa terancam oleh pertanyaan atau perbedaan gaya hidup.

Sebaliknya, kepura-puraan sering rapuh dan mudah terguncang.

6. Lebih Fokus Tampilan Daripada Keamanan Finansial

Ciri lain yang sering muncul adalah:

Tidak punya dana darurat

Tidak memahami investasi dasar

Menghindari pembicaraan soal perencanaan keuangan

Namun sangat fokus pada:

Penampilan luar

Pengakuan sosial

Standar hidup semu

Psikologi perilaku menyebut ini sebagai orientasi jangka pendek, yang sering dikaitkan dengan stres finansial tersembunyi.

7. Merendahkan Kesederhanaan dan Mengagungkan Kemewahan

Orang yang berpura-pura kaya sering kali merendahkan hidup sederhana karena kesederhanaan mengancam narasi yang mereka bangun.

Ucapan seperti:

“Hidup sekali, harus mewah”

“Kalau nggak menikmati, buat apa kerja?”

sering digunakan untuk membenarkan perilaku konsumtif, padahal di baliknya bisa tersimpan kecemasan finansial yang dalam.

Kesimpulan: Kekayaan Sejati Tidak Berisik

Psikologi menunjukkan bahwa kekayaan sejati cenderung tenang, stabil, dan tidak membutuhkan pengakuan terus-menerus. Sebaliknya, kepura-puraan sering tampil mencolok, defensif, dan melelahkan secara emosional.

Artikel ini bukan untuk menghakimi, melainkan mengingatkan bahwa:

Nilai diri tidak ditentukan oleh tampilan

Kesehatan finansial lebih penting daripada citra

Kedamaian batin sering datang dari kecukupan, bukan kemewahan semu

Pada akhirnya, orang yang benar-benar “kaya” bukanlah mereka yang terlihat paling berkilau, melainkan mereka yang tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun.