Ruang Publik 24 Jam: Membuat Taman Kota Nyaman dan Inklusif untuk Semua

Ruang Publik 24 Jam: Membuat Taman Kota Nyaman dan Inklusif untuk Semua

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta untuk membuka beberapa area tersebut
Taman kota terbuka sepanjang 24 jam
Seharusnya dipuji sebagai bagian dari upaya untuk memastikan hak-hak masyarakat terhadap ruang publik yang inklusif. Kebijakan tersebut diperkenalkan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, yaitu Pramono Anung-Rano Karno, sesuai dengan komitmennya selama kampanye Pilgub pada tahun 2024. Beberapa penduduk Jakarta nampak antusias merespon serta bersemangat mengantisipasi implementasi peraturan pemerintah daerah tentang pembukaan taman kota yang tidak memiliki batasan waktu operasional.

Mahesa (30), penduduk Kebayoran Lama, menyatakan dirinya sangat bergairah atas keputusan Gubernur Pramono untuk menciptakan taman kotanya selama 24 jam di Jakarta. Laki-laki yang menggeluti pekerjaan dalam industri ritel tersebut percaya bahwa usaha ini sesuai dengan tujuan Jakarta yaitu menjadikan ibukota sebagai pusat metropolitan internasional. Ia meyakini bila memimpikan kesetaraan level metropolis perkotaan serupa dengan tempat-tempat besar lainnya seperti London, Amsterdam, atau New York, fasilitas publik semacam area terbuka hijau haruslah siap memberdayakan pengguna jasa setiap saat.

“Masyarakat tetap membutuhkan fasilitas tempat umum yang layak, salah satunya terlihat dari banyaknya pemuda atau pelajar yang justru berkumpul hingga larut malam di kedai-kedai akibat keterbatasan dalam mengakses perpustakaan yang buka selama 24 jam,” ujar Mahesa saat berbicara dengan reporter Tirto, pada hari Jumat (11/4/2025).

Lebih lanjut, mengingat keterbatasan fasilitas umum yang diselenggarakan Pemprov, banyak remaja yang memilih untuk berkumpul di tepi jalan. Kegiatan tersebut akan lebih positif jika ada ruang publik yang terorganisir dengan baik dan disiapkan secara formal oleh pemerintah daripada para pemuda berkumpul di area-area kosong.

Bisa jadi, menurut Mahesa, hal yang sekarang mengkhawatirkannya adalah cara Pemprov untuk memastikan bahwa taman kota yang buka selama 24 jam tetap nyaman dan aman. Ia merasa bahwa pihak berwenang di taman serta pemakaian sistem pengawasan dengan menggunakan CCTV bisa dioptimalkan tanpa menyebabkan masyarakat merasa tekanan atau pembatasan dalam melakukan aktifitas mereka.

“Semoga bukan hanya taman saja, melainkan semua area umum seperti perpustakaan serta tempat-tempat kesenian seperti TIM dapat dijangkau kapan pun dengan selamat dan nyaman,” jelas Mahesa.

Pada sisi lain, Nurlela (26) menyatakan bahwa dia tidak sepenuhnya mendukung keputusan Pemerintah Provinsi Jakarta untuk membolehkan sejumlah taman buka selama 24 jam. Wanita yang berasal dari Pasar Minggu dan bekerja di sebuah perusahaan real estat tersebut khawatir dirinya tidak akan mampu menikmati fasilitas taman pada waktu malam hari.

Sebabnya, Nurlela belum memiliki jaminan bahwa taman kota yang buka selama 24 jam tersebut akan aman untuk wanita. Dia menyatakan masih merasakan ketakutan saat melakukan aktivitas sampai larut malam di area umum, sebab kejahatan di Jakarta dapat terjadi di manapun.

“Sedikit susah untuk membayangkan tempat yang aman ketika taman pada malam hari seperti itu, apalagi jika nanti tidak ada penjaga atau penjaga sulit dihubungi sehingga jika kita berteriak pun suaranya tak akan terdengar,” ujar Nurlela saat ditemui oleh wartawan Tirto, Jumat.

Sebaliknya, Nurlela setuju jika hal-hal seperti taman kota di Jakarta diperbaiki dengan lebih baik untuk meningkatkan tersedianya area hijau yang semakin luas. Dia memang gemar sekali jalan-jalan ke taman dan merasa bahagia ketika melihat taman kota dipadati orang-orang dari berbagai latar belakang. Terutama pada hari libur, menurutnya, taman tersebut menjelma menjadi sebuah campuran bervariasi dari segmen masyarakat: ada yang olahraga, membentuk kelompok buku, bernyanyi bersama, piknik, hingga mengurus anak-anak mereka.

“Mungkin selain masalah keselamatan, aspek lain yang harus menjadi perhatian adalah distribusi yang adil. Sebab kemungkinannya saat ini taman mungkin masih lebih banyak terfokus di beberapa area tertentu dan belum tersebar dengan baik,” ungkap Nurlela.

Hafiz (21), seorang siswa dari Jakarta Barat, berpendapat bahwa ide untuk mengubah taman kota menjadi buka 24 jam harus mempertimbangkan pendapat masyarakat lokal. Dia merasa belum tentu semua orang yang tinggal di area tersebut mendukung gagasan itu. Apalagi, Hafiz menyebutkan, banyak taman yang lokasinya cukup dekat dengan perumahan, jadi aturan tentang operasi taman mestinya disesuaikan dan tak bisa diterapkan secara seragam.

Hafiz menegaskan bahwa taman di sekitar pemukiman harus mempertimbangkan kenyamanan serta keselamatan masyarakat setempat. Harapannya adalah jangan sampai daerah hunian keluarga dengan banyak anak-anak dan lanjut usia berubah menjadi tidak aman akibat dari aktivitas taman kota yang tiada hentinya menyebabkan kerumunan orang.

“Pada intinyanya Bapak Gubernur harus melakukan pembicaraan terlebih dahulu, tidak bisa langsung menentukan apakah akan dibuka selama 24 jam atau tidak, karena memang masih ada warga yang tinggal di daerah tersebut,” ujar Hafiz saat berbicara dengan wartawan Tirto, Jumat.

Kebijakan untuk membuka taman kota selama 24 jam memerlukan persiapan terhadap aspek infrastruktur, manajemen sosiologi dan ekologi, serta pembaruan cara berpikir dalam menjalankan sebuah kota sebagai tempat tinggal bersama. Area publik—seperti halnya adanya taman kota—menjadi salah satu tolak ukur dari suatu gaya hidup berkualitas. Taman kota tidak hanya menjadi elemen pendukung pemandangan perkotaan atau background foto keluarga semata.

Taman kota bertindak sebagai area interaksi, relaksasi, ekspresi diri, serta menjadi platform suara bagi penduduk yang makin dibayangi oleh privasi dengan harga tinggi dan eksklusivitas. Dengan pembukaan taman kota sepanjang 24 jam, ada potensi mendemokrasikan akses tersebut—terlebih bagi mereka yang terikat pada batasan waktu, ruang, dan sumber daya. Akan tetapi, kesempatan ini juga membawa hambatan signifikan dan membutuhkan panduan kebijakan yang jelas saat diterapkan.

Sebaliknya, tantangan-tantangan ekologis pada implementasi taman kota juga tak kalah penting. Tidak bisa dipandang remeh bahwa taman adalah area hampa tanpa adanya kehidupan. Tempat ini mampu menyediakan habitat untuk sejumlah jenis tumbuhan dan hewan yang masih bertahan di antara gedung-gedung pencakar langit Jakarta.

Penjelasan yang terlalu banyak, aktivitas manusia yang intensif hingga dini hari serta kebisingan dapat mengacaukan keseimbangan lingkungan lokal di taman kota. Pihak pemerintahan harus merancang zona waktu dan tempat tertentu agar bagian dari area taman tersebut masih dilindungi demi memelihara siklus biologis organisme yang bertempat tinggal di sana.

Sebenarnya, ide untuk mengoperasikan taman kota selama 24 jam direncanakan akan mulai dilaksanakan pada bulan Juni tahun 2025. Di awal proyek ini, beberapa taman yang menjadi fokus antara lain adalah Lapangan Banteng, Taman Ayodya, Tebet Eco Park, Taman Langsat, Taman Menteng, serta Taman Literasi Martha Christina Tiahahu.

Kelima taman itu diambil sebagai projek pertama dikarenakan telah memiliki dukungan infrastruktur serta kemudahan akses bagi masyarakat. Memiliki waktu kurang lebih dua bulan lagi, ini berarti pemerintah provinsi harus menyiapkan dan menyempurnakan regulasi untuk mengimplementasikan kebijakan taman kota selama 24 jam.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jakarta telah bersiap untuk meningkatkan waktu operasi enam taman kotanya hingga 24 jam sehari. Sebagian lainnya tetap buka hingga pukul 10 malam. Rano juga meyakinkan bahwa setiap taman akan dipasangi sistem pemantauan melalui kamera pengawas (CCTV) guna menjaga keselamatan para pengguna fasilitas tersebut.

Bukan cuma sistem kamera pengawas, Rano menyatakan pula penambahan lampu di berbagai taman. Setiap taman memiliki manajer sendiri yang bertanggung jawab atas perawatannya. Laki-laki yang kerap dipanggil Bang Doel ini menjelaskan bahwa ia telah merancang susunan pengelola taman secara detail: mulai dari posisi manajer, sekretaris, sampai pegawai kebersihan.

Dia berharap bahwa dengan meningkatnya jumlah jam operasional beberapa taman tersebut, peluang kerja baru dapat dibuka untuk masyarakat Jakarta. Di samping itu, diperkirakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga akan mendapatkan manfaat yang baik dari hal ini. Meskipun demikian, dia ingin memastikan bahwa taman kota tidak hanya menjadi area perdagangan, melainkan juga harus menjadi ruang umum bagi penduduk setempat untuk menyampaikan hobinya melalui kegiatan kelompok atau komunitas.

Ingatlah bahwa taman tidak hanya berfungsi bagi UMKM melainkan juga menjadi tempat berkumpulnya beberapa komunitas,” ujar Rano ketika ditemui oleh jurnalis di Balai Kota Jakarta, Rabu (9/4/2025). “Sebagai contoh, jangan membuat proses pengambilan foto menjadi rumit karena terdapat komunitas fotografi di Jakarta dengan jumlah anggota yang signifikan.

Terbaru, Gubernur Jakarta Pramono Anung menghapuskan status Eco Park Tebet sebagai salah satu taman yang buka selama 24 jam. Menurut Pram, taman itu kini hanya akan melayani pengunjung mulai pukul 06.00 sampai 22.00 WIB. Kebijakan ini ditetapkan setelah Pemerintah Provinsi melakukan diskusi dengan penduduk lokal di area taman tersebut.

Pram menggarisbawahi pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait jadwal buka tutup taman. Pemprov DKI Jakarta bersikeras untuk memperhatikan masukan dari publik sebelum merancang aturan tentang taman kota selama 24 jam. Akhirnya, kelima taman lain yang tadinya dioperasionalkan tanpa batasan waktu masih sesuai dengan perencanaan awal dan tak menuai protes dari penduduk setempat.

“Segalanya telah disampaikan dengan baik,” ujar Pramono di Jakarta Selatan, Jumat (11/4/2025).

Ahli Perencanaan Kota bernama M Azis Muslim melihat bahwa keputusan untuk mengakses taman kota selama 24 jam di Jakarta mencerminkan kesadaran Pemerintah Provinsi dalam mendorong peningkatan mutu kehidupan penduduknya. Diharapkan dengan pembukaan area hijau ini tanpa batasan waktu akan berfungsi sebagai tempat bagi masyarakat untuk saling bertemu dan juga bisa mendukung gerobak ekonomi warganya.

Menurutnya, saat ini fasilitas umum atau area untuk berhimpun tanpa biaya yang aman dan nyaman sangat terbatas di Jakarta. Akibatnya, penduduk lebih suka ke mal, kedai kopi, atau lokasi bersifat bisnis lain sebab kurang ada pilihan tempat bertemu yang menyenangkan serta hemat pengeluaran.

“Rencana untuk menjadikan taman buka selama 24 jam pastinya akan menciptakan area interaksi yang menurutku akan sangat mengundang minat. Apabila hal tersebut dapat dipenuhi sebagai tempat bagi ekspresi kreatif dan seni masyarakat Jakarta,” jelas Azis saat berbicara dengan seorang reporter Tirto, pada hari Jumat.

Dia mengatakan bahwa taman kota sebagai area umum perlu adanya partisipasi dari masyarakat luas. Ini artinya tidak cukup hanya pemerintah provinsi yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan pengaturannya, tetapi penduduk setempat pun harus ikut serta. Oleh karena itu, Aziz berkeinginan agar dapat dibuat suatu kesepakatan bersama guna mendukung keberadaan taman kota supaya lebih inklusif, aman, dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat.

Akan tetapi, tanggung jawab Pemerintah Provinsi dianggap jauh lebih besar. Para pengambil keputusan harus menjamin manajemen taman yang efektif serta dilengkapi dengan regulasi yang mendukung pembentukan area publik menjadi tempat yang bersifat partisipatif dan inklusif.

Meskipun demikian, dibalik berbagai kesulitan tersebut, kebijakan taman selama 24 jam juga menawarkan peluang besar untuk menghasilkan sebuah kota yang lebih aktif dan adil. Taman bisa jadi sebagai area pertemuan bagi lapisan masyarakat yang berbeda-beda, lokasi kerjasama dalam bidang seni, tempat diskusi antar penduduk, serta arena peragaan budaya yang umumnya tidak terjangkau oleh segelintir orang.

Taman dapat berfungsi sebagai “ruang ketiga” atau area alternatif yang melengkapi kesenjangan di antara rumah dan tempat kerja, hal yang sepertinya sangat diperlukan oleh kota-kota besar seperti Jakarta yang semakin penuh sesak dan terbagi-bagi.

“Memang benar ini pasti memerlukan perencanaan yang matang serta fasilitas infrastruktur yang cukup agar dapat mengoptimalkan penggunaan taman-tamannya,” jelas Azis.

Maka, mungkin saja kota yang sehat dan demokratis tidak hanya merupakan kota dengan pencahayaan terus-menerus selama 24 jam. Tetapi lebih kepada kota yang mengerti waktu untuk aktifitas serta menyediakan tempat bagi kediaman sunyi. Sebuah kota yang paham tentang bagaimana merancang area bersama yang aman, berkelanjutan, dan adil.

Taman kota pada akhirnya tidak hanya terbatas pada jam operasional saja, melainkan lebih kepada cara kota tersebut menghargai dan menjaga penduduknya—baik itu manusia ataupun non-manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com