news  

Pusat Habibie: Listrik Skala Kecil yang Lebih Ramah Lingkungan dan Berkeadilan Sosial

Pusat Habibie: Listrik Skala Kecil yang Lebih Ramah Lingkungan dan Berkeadilan Sosial





,


Jakarta


– Peneliti
The Habibie Center
Muhammad Arief Virgy menyebutkan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik
(RUPTL) 2025–2034 milik PT PLN menargetkan kapasitas
energi terbarukan
sebesar 42,6 gigawatt. Sementara untuk pembiayaan telah ada regulasi teknis yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.

“Jadi tidak hanya dari APBN untuk pembiayaan transisi energi, tapi juga kerja sama internasional seperti

multilateral development bank

maupun model kerja sama seperti JETP (Just Energy Transition Partnership),” kata Virgy dalam diskusi bertajuk “Menilik Mekanisme Pembiayaan Inovatif Internasional untuk Mendorong Pengembangan Transisi Energi di Indonesia” di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025.

Virgy mengatakan telah meneliti dokumen

safeguard

dari berbagai kerangka pembiayaan seperti Asian Development Bank, World Bank, dan JETP. “Salah satu fokus kami dari poin transisi energi yakni keadilan prosedural atau

prosedural justice

,” ucap dia.

Menurutnya, keadilan prosedural ini harus mempertimbangkan suara dari masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan energi terbarukan. Untuk menjamin terpenuhinya keadilan prosedural tersebut, harus ada tiga indikator, yakni partisipasi publik, keterbukaan informasi, dan adanya mekanisme pelaporan atau keluhan.

Untuk partisipasi publik, kata Virgy, harus dalam konteks bermakna, tanpa intimidasi, dan memenuhi prinsip inklusi untuk semua masyarakat terdampak. “Termasuk masyarakat yang belum memiliki formal legal atas lahan,” kata Virgy.

Untuk keterbukaan informasi, Virgy mengatakan dokumen

safeguard

kerangka pembiayaan seperti ADB dan JEPT masih menggunakan bahasa teknikal yang masih sulit dipahami oleh masyarakat terdampak. “Sehingga perlu diantisipasi ke depan bahasa yang teknikal, sehingga bisa dipahami masyarakat.”

Dia menambahkan bahwa mekanisme keluhan harus menjadi ruang aman bagi masyarakat yang melapor. Dia juga mendorong adanya kerahasian pelapor agar masyarakat bisa lebih aman ketikan memberi masukan, saran, dan kritik. “Ketika ada

dispute

, kita tidak bisa memungkiri ada

power inbalance

antara satu pihak dan pihak yang lain, sehingga keberadaan fasilitator untuk bisa menengahi sengketa antarpihak perlu dilakukan,” ucapnya.

Peneliti The Habibie Center lainnya, Kunny Izza Indah, mengatakan regulasi telah mendorong adanya aspek partisipasi publik dan keterbukaan informasi. Namun, kebijakan nasional belum merinci metode masukan masyarakat itu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. “Perlu mekanisme lebih teknis dan

political will

untuk memperkuat aspek keadilan prosedural dalam kerangka kebijakan nasional,” ujarnya dalam forum yang sama.

Menurut Kunny, temuan The Habibie Center, seperti dalam pengembangan biomassa dan

co-firing

, pemerintah beserta PLN telah melibatkan masyarakat dalam pengembangan biomassa, meski dalam implementasi masih ada beberapa catatan penting. Ia mengatakan hasil kajiannya menyebutkan pembangkit skala kecil memiliki potensi pemenuhan aspek keadilan yang lebih besar, baik dari prapembangunan hingga pasca pembangunan. “Salah satu contoh, PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) lebih baik dari segi keadilan daripada PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air).”

Kunny mencontohkan PLTA Upper Cisokan Jawa Barat yang merupakan

pumped storage

pertama di Indonesia. PLTA ini mendapat pembiayaan dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan World Bank sebagai skema pembiayaan multilateral. “Kami mendapatkan laporan masyarkat belum menerima kompensasi dari relokasi,” kata Kunny.

Selain itu, kata Kunny, dalam pembangunan reaktivasi Gunung Karang untuk pembangunan PLTA Cisokan, bisa meningkatkan deforestasi dan mengganggu sumber mata air masyarakat jika tidak ada pemulihan yang dilakukan.

“Sehingga listrik skala kecil ini menjadi solusi, apalagi yang berbasis masyarakat, khususnya meningkatkan aspek keadilan prosedural untuk memperkuat partisipasi dan pemberdayaan,” ujarnya. “Ini menjadi peluang bagi pembiayaan multilateral untuk melihat pendanaan energi berbasis komunitas. Ini menjadi katalisator untuk penguatan safeguard.”

Menanggapi rekomendasi dari The Habibie Center, Senior Climate Change Specialist Asian Development Bank Indonesia Meutia Chaerani mengatakan bahwa pihaknya sudah pernah membiayai energi berbasis komunitas yang terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Ia mengatakan phaknya berpatokan dari kebutuhan dan arahan dari Pemerintah Indonesia. “Walaupun kalau melihat di RUPTL, belum kelihatan hilalnya, masih condong ke pembangkit skala besar,” kata dia.

Sementara Energy Model Specialist for Indonesia Jept Secretariat Putu Indy Gardian menyebutkan energi komunitas bersifat kondisional. Menurut dia, pembangunan pembangkit listrik harus berbasis

demand

atau permintaan. Ia mencontohkan, ketika permintaannya skala industri dengan daya 50 megawatt, tidak mungkin bisa terpenuhi oleh PLTMH.

“Dalam menentukan apakah kita membangun pembangkit A, B dan C harus melihat multiaspek, tidak hanya aspek teknikal, tidak hanya dari aspek finansial, tidak hanya aspek sosial, harus

balance

,” ucap dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WP Twitter Auto Publish Powered By : XYZScripts.com