– Dunia pendakian kembali menggemparkan publik. Kali ini, kabar datang dari Indonesia.
Seorang turis asal Brasil ditemukan meninggal dunia setelah terperosok ke kawah Gunung Rinjani.
Kejadian ini menyita perhatian dunia, apalagi sebelumnya korban sempat terekam kamera drone.
Saat itu, drone merekam Juliana Espana (26 tahun) yang masih terlihat berdiri di tepi kawah.
Meski terlihat lelah dan sesak napas, ia dihadapkan pada dua pilihan: menunggu tim penyelamat atau menuruni lereng curam Gunung Rinjani.
Pilihan terakhir yang diambil berujung tragis.
Juliana dilaporkan terperosok hingga sedalam 600 meter dan ditemukan meninggal empat hari kemudian.
Gunung Rinjani memang indah, tetapi juga menyimpan bahaya yang tak bisa dianggap remeh.
Jalurnya ekstrem, cuaca tak terduga, dan bebatuan rawan longsor.
Dalam situasi seperti itu, kesiapan fisik dan mental menjadi kunci keselamatan pendaki.
Tragedi ini menggugah empati global.
Tak hanya warga Brasil yang berduka, warganet dari berbagai negara pun bersuara.
Bahkan, akun Instagram Presiden Prabowo Subianto diserbu komentar agar proses evakuasi dipercepat.
Peristiwa ini jadi bahan refleksi. Gunung tetaplah alam liar.
Setiap orang yang ingin mendaki harus mempersiapkan diri secara menyeluruh, baik secara fisik maupun mental, serta memahami medan pendakian.
Pengetahuan tentang kesehatan dalam mendaki gunung juga sangat penting, terutama bagaimana tubuh merespons cuaca ekstrem di puncak.
Penelitian Permatasari dan Sidarta (2021) dari Universitas Trisakti menemukan bahwa 73,3 persen pendaki yang terbiasa beraktivitas fisik hanya mengalami Acute Mountain Sickness (AMS) ringan.
Sebaliknya, lebih dari 50 persen pendaki yang jarang berolahraga mengalami AMS sedang hingga berat. Ini menunjukkan bahwa tubuh yang tak terlatih rentan terhadap tekanan udara dan kadar oksigen rendah di gunung.
Dalam kasus ekstrem seperti hipotermia, gejala sering muncul perlahan namun bisa sangat mematikan.
Penelitian dari New Hampshire (2025) mengungkap bahwa suhu di gunung bisa turun drastis di malam hari, bahkan ketika siangnya terasa hangat.
Penelitian ini menegaskan bahwa hipotermia merupakan ancaman serius jika pendaki tak mempersiapkan diri secara fisik, mental, dan peralatan memadai.
Penelitian lain dari Frontiers in Molecular Biosciences (2025) menjelaskan peran protein Heat Shock Proteins (HSPs) dalam menjaga kestabilan suhu tubuh di cuaca ekstrem.
Namun, mekanisme ini tak cukup jika tidak didukung asupan energi, pakaian tebal, dan kondisi tubuh yang prima.
Bagas Adi Permadi (2025) juga menemukan bahwa mayoritas pendaki yang rutin melakukan latihan fisik menunjukkan daya tahan lebih baik.
Sebanyak 86 persen pendaki laki-laki dan 68 persen pendaki perempuan dengan aktivitas tinggi jarang mengalami cedera atau kelelahan parah di jalur menanjak.
Hasil-hasil ini seharusnya menjadi peringatan, baik bagi pendaki pemula, pendaki senior, penyedia jasa wisata, maupun otoritas pengelola gunung.
Edukasi tentang kesehatan dan keselamatan mendaki harus ditingkatkan guna mengurangi risiko kecelakaan.
Tragedi yang menimpa Juliana menjadi pelajaran penting. Perubahan budaya dalam pendakian mutlak diperlukan.
Persiapan fisik dan mental idealnya dilakukan 2–4 minggu sebelum mendaki.
Latihan kardio seperti lari, bersepeda, treadmill, renang, dan penguatan otot inti seperti plank serta squat adalah modal dasar yang wajib dilakukan.
Latihan dilakukan bertahap agar tubuh tidak kaget menghadapi suhu dan tekanan ekstrem di ketinggian.
Pakaian pun harus sesuai prinsip berlapis: lapisan dasar untuk menyerap keringat, lapisan tengah menjaga suhu tubuh, dan lapisan luar melindungi dari angin serta hujan.
Selain itu, perlengkapan survival wajib dibawa, seperti peluit, senter cadangan, kantong tidur, dan alat komunikasi pelacak lokasi.
Pendakian pun harus dilakukan berkelompok, dengan pemandu berpengalaman.
Kesalahan fatal sering terjadi saat pendaki memaksakan diri melanjutkan perjalanan dalam kondisi tubuh lelah dan mental goyah.
Dalam situasi ekstrem, bertahan di tempat, menjaga energi, dan memberi sinyal bantuan jauh lebih bijak daripada mengambil risiko menuruni jalur yang tidak dikenali.
Tragedi ini menyadarkan kita bahwa seindah apa pun gunung dan latar foto Instagram-nya, ia tetap medan berbahaya. Gunung bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk dihargai dan dijalani dengan bijak.
Mulai sekarang, mari ubah pola pikir mendaki bukan soal menaklukkan alam, melainkan berdamai dan berbahagia bersamanya. Kesehatan dan keselamatan harus selalu jadi prioritas.
Semoga kisah Juliana bukan hanya dikenang sebagai duka, tetapi juga titik balik agar kita semua lebih bijak menjaga diri di ketinggian alam bernama “Gunung”.
(*)
Penulis:
Prima Trisna Aji
Dosen Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang