,
Jakarta
– Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai
Gerindra
Sufmi Dasco Ahmad mengatakan partainya masih mengkaji ihwal putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan jadwal pemilu serentak nasional dan daerah.
Dasco mengatakan Gerindra menghargai sikap Partai NasDem yang menolak Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Menurut dia, sikap NasDem harus dianggap sebagai masukan dalam menyusun revisi Undang-Undang Pemilu nanti.
“Kami juga masih mengkaji, beberapa partai politik juga masih mengkaji. Kemudian masing-masing partai itu mengeluarkan sikap dan tentunya masing-masing sikap itu juga merupakan masukan,” kata Dasco di Halim Perdanakusuma pada Selasa, 1 Juli 2025.
Wakil Ketua DPR itu juga mengatakan DPR dan pemerintah belum menetapkan waktu untuk merevisi Undang-Undang Pemilu setelah putusan. “Kami belum ada target karena ya mengingat memang pemilu masih lama,” katanya.
Kendati demikian, Dasco mengatakan DPR akan mengkaji apakah putusan MK memberikan batas waktu untuk penetapan caleg dan lainnya. Apabila demikian, DPR akan menyesuaikan waktu yang ada untuk menyusun revisi UU Pemilu dan Pilkada.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Saan Mustopa menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah merupakan hal yang inkonstitusional. Dia menilai putusan itu menentang pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur pemilihan umum.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa setiap lima tahun sekali pemilu diselenggarakan untuk memilih presiden-wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sehingga Saan menganggap pemisahan pemilu dan pilkada melanggar konstitusi.
“Putusan itu menimbulkan konsekuensi tentang tata kenegaraan kita nanti agak porak-poranda,” kata dia saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Wakil Ketua DPR itu mengatakan, untuk mengakomodasi putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, harus ada amandemen UUD 1945.
Saan juga mendesak MK konsisten dalam putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang untuk menentukan model keserentakan pemilu. Ia ingin agar MK berpegang pada putusan sebelumnya yang telah bersifat final dan mengikat.
“Mereka kan sudah memutuskan tahun 2019 yang mengatur keserentakan pemilu, di mana presiden, wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, kabupaten dan kota dengan lima kotak. Itu kan putusan Mahkamah Konstitusi sendiri,” ujarnya.
Pada 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaran pemilu di tingkat nasional seperti pemilihan anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilihan umum tingkat daerah atau kota. Putusan ini membuat pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029 mendatang.
Putusan ini merupakan gugatan Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam petitumnya, Perludem meminta Mahkamah memutus Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif, yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah, menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat untuk menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif.
Selain itu, dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilihan umum yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Padahal, menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam.
Dian Rahma Fika dan Dede Leni Mardiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini