Saya bersumpah tidak akan merawat kucing lagi setelah harus pindah sana-sini karena keinginan cinta sang ibu. Kucing terakhir saya bernama Pupu, akhirnya ditinggalkan di dekat tong sampah pasar, tempat seekor ikan tunas yang sudah dipenuhi belatung direbut oleh tikus seukuran anjing besar.
Oleh karena itu, saya enggan mengenal nama-nama teman sekalassaya, tidak ingin bersapa-sapadengan mereka, sama seperti bagaimana saya tidak perdulidengan setiap kucing miskin yang minta ikan asingdi tepi jalan. Suatu hari nanti, apabila saya harusberpisah dari mereka—baik kucing maupunmanusia—Ibu tidak akan merasakan lara tersebut.
Pada masa lalu, sebelum pindah ke Kota Labubu, ibuku mirip dengan Hera, dewi utama, yang memutuskan diri untuk setia pada Zeus. Saya membacanya dari buku cerita tua di perpustakaanku yang berdebu.
Sama seperti Hera, ibuku menghubungkan kegembiraannya dengan seorang pria, yakni ayahku. Saat kami masih hidup bersama di satu rumah, ibuku sering kali memasak kerang cangkringan serta bebek bumbu hitam, yang memang disenangi oleh ayahku.
Menurut ibunya, dia merasa bahagia asalkan ayahnya puas, tidak perduli meskipun dirinya muntah atau kulitnya mengalami ruam setelah memakannya. Oleh karena itu, lebih baik bagiku untuk hanya menyantap roti putih sambil duduk bersama Pupu yang sedang menikmati biskuit kucingnya.
Malapetaka menyergap kita saat bapak menikahi secara diam-diam seorang magang di kantor yang baru berumur tujuhbelas tahun. Ibu tidak harus mendengarnya, namun saya terlalu naif, mengatakan bahwa telah melihat mobil sang ayah parkir di depan rumah kecil di tepi danau.
Meskipun begitu, hari itu bapak sedang tugas keluar kota. Bergelung dengan dasternya yang bewarna merah serta rambutnya yang acak-acakan, Ibuku mengambil kunci mobil tersebut. Dia menyetir kendaraan kami semaju Pegasus yang diselimuti hantu Medusa.
Sampai di sana, ibu menemukan ayah masih bersarung tenun di dalam kamar yang beraroma peluh dan sisa-sisa cairan persetubuhan, sementara si cewek baru saja keluar kamar mandi dengan selembar handuk ungu.
Sebaliknya dari marah pada bapaknya, ibunya malah mendorong sang gadis keluar kos-kosan. Dia melempar handuk Ungu milik gadis itu ke jalan, mencabuti rambut keritingnya sambil menusukkan cakar tajam ke wajah si gadis tersebut.
Menyaksikan kejadian tersebut, bapak segera memisahkan mereka berdua, kemudian merangkul gadis itu dan menutupi tubuhnya dengan sapu tangan rajutan miliknya. Dia pun mencoba untuk memberi semangat pada anak perempuan itu supaya tetap sabar sementara dia mendorong ibunya sehingga terbentur pohon jujub yang ada di halaman rumah.
Karena khawatir tertinggal oleh kerumunan penduduk desa yang bergegas datang, sang ayah segera membawa kabur gadis itu menggunakan mobil, sedangkan ibunya masih menjerit-jerit di pekarangan rumah.
Pada hari berikutnya, sang ayah akhirnya tiba di rumah pada waktu subuh, sementara ibu sudah menyiapkan hidangan kerang cincin serta bebek bumbu hitam. Sang ayah tampak sangat kewalahan; pakaian yang acak-acakan dengan rambut seperti semak belukar, namun ibu menyapa dia bagai dia baru saja pulang dari perayaan keliling kompleks tetangga.
Bapak meninggalkan Ibunya dengan tidak peduli, lalu pergi ke kamarnya untuk membungkus pakaiannya kedalam tas. Dia buru-buru pergi dari rumah saat Ibunya berusaha meyakinkanya untuk bertahan. Satu bulan setelah itu, Ibunya mendapat pesan di telepon genggamnya bahwa Bapak sudah melakukan perceraian secara agama terhadap dirinya.
Ibu terpukul oleh kesedihan yang mendalam. Beberapa hari berlalu, dia tidak ingin makan apapun dan saya pun cuma memakan sepotong roti tawar saja. Pada hari ke tujuh, ibu membuka pintu kamar saya lalu berkata bahwa dia sudah mengetahui identitas gadis tersebut. Tidak jelas bagaimana caranya, tetapi ibu berhasil mencari-cari detail tentang wanita itu. Dia menyebutkan bahwa wanitanya sangat merendahkan dirinya sendiri.
Dia hanya menyelesaikan pendidikan hingga sekolah menengah atas, berbeda dengan ibunya yang seorang Sarjana. Dia berasal dari keluarga kurang mampu yang bertempat di tepian sungai, sehingga perilakunya tentunya akan terkesan pedesaan.
Saat ini, ternyata dia dan ayahnya telah pindah ke Kota Labubu dan menetap di sebuah rumah kontrakannya. Sehubungan dengan hal tersebut, ibuku memutuskan untuk membawaku pindah ke Kota Labubu juga. Dengan demikian, aku terpaksa meninggalkan Pupu bersama tikus-tikus dan lalat-lalat lapar di tempat pembuangan sampah pasar.
Rumah baruku yang sederhana dan agak beraroma lembab, ibuku masih saja menyiapkan hidangan cumi dengan cangkang serta bebek bercicip hitam. “Waspadalah kalau ayah muncul,” ucapnya. Jika menjadi ibu, kupikir akan kumasak camilan favoritku sendiri tanpa perduli selera orang lain.
Namun, saya bukan seorang ibu, sehingga saat pergi ke sekolah hanya bisa mengunyah roti tawar kosong. Hanya setengah yang terkonsumsi, namun perut telah merasa penuh sesak.
Saat melewati lorong kecil beraroma ammonia di sekitaran sekolah, satu ekor kucing putih dengan wajah serigala — dahinya dipenuhi luka bekas goresan dan bulunya penuh debu— memandangku dengan tajam. Saya mencoba untuk tidak peduli, namun hewan itu justru melompat menusuk ke arah kaki kiri saya yang telanjang.
Saat reflek, kukibaskan kakiku sambil menerkanya dengan marah,” Anjing!” Alih-alih kabur, hewan itu hanya berdiri di tengah jalanan sambil mengarahkan tatapan nya pada sepotong roti yang kupegang. Saya sadar bahwa kucing tersebut kelaparan namun ekspresinya membuat saya teringat akan cara ibuku memandangi bapa; sebuah perpaduan antara rasa lapar dan kerinduan. Setelah itu, saya melepaskan potongan roti tersebut ke tempat sampah sembari mendengus kesal kepada sang kucing kemudian melanjutkan langkah menuju sekolah.
Sesampainya di rumah setelah pulang sekolah, kudapati ibuku juga baru tiba tidak tau dari mana. Dia keluar dari mobil sambil tersenyum lebar. Tanpa kukira, dia langsung menceritakan bahwa dirinya barusan mengunjungi kepala RW yang menjadi tempat tinggal ayahku.
Di situ ibu berkisah detail bahwa gadis yang hidup bersama sang ayah merupakan pendukung sebuah aliran terlarang penyembah setan. Wanita jahanam tersebut berniat merekrut anggota baru dari kalangan tetangga, dan bisa saja salah satu orang tersebut bakal menjadi korban dalam ritual kekayaan gaib.
Keesokan pagi itu, saat aku melihat muka ibuku yang tadi baru saja keluar dari kamarnya, terlihat seolah-olah bunga rampai yang baru ditata di belakgrond: berseri-seria. Dia memberitahu bahwa kedua orang tersebut —bapakku dan perempuan nakal itu— sudah dikeluarkan dari rumah sewaan, dan hal ini menurut perkataan ibu, tidak akan lama kemudian bapa akan pulang ke pelukan kita.
Namun tentu saja bapak tidak pulang. Justru kami yang pada akhirnya berpindah lagi ketika ibu mendapatkan informasi tentang tempat tinggal bapak bersama selirnya. “Mereka menetap di Kota Saiba, sekitar dua jam dari sini.”
Ibu telah menyewa sebuah rumah di dekat tempat tinggal mereka,” kata ibu sambil menatap tajam dengan mata berkaca-kaca dipenuhi kemarahan. Bukan menjadi orang yang hancur dan lemah layaknya Dementor atau Persephone, namun aku melihat ibuku berubah menjadi Hera yang diliputi kebencian.
Setelah itu, ibunya mengumpatkan wanita tersebut dengan beragam julukan hewan merayap, namun tidak pernah menyebut-nyebut bapa. Bapa masih dianggap suci seperti halnya Zeus, dewa agung. Meski demikian, kesalahan seharusnya telah melenyupi kedua tangannya secara penuh.
Sebentar kemudian, kami memutuskan untuk pindah ke sebuah rumah kontrak yang baru di kota Saiba. Begitu juga kali ini, Ibu masih sering memasak bebek hitam serta kerang berlapis seperti suatu pertanda bahwa ayah mungkin akan tiba pada siang hari tersebut.
Saya pun tidak perduli asalkan ada roti tawar untuk mengisi perut saya. Sungguh ganjil, saat saya melangkah menuju sekolah baru ini, di pinggir parit yang baunya menyengat, saya bertemu lagi dengan kucing jelek itu.
Matanya sekali lagi menusuki punggungku. Saya memutarkan kepala, kemudian saya lempar roti tersebut ke saluran air. Perbedaannya adalah bahwa dia meloncat ke udara, mencoba mengambil roti itu, namun justru terselip dan terjatuh ke dalam parit.
Sembari mengutuk nasibnya yang sial, aku ambil kucing lembab itu dari dalam parit lalu ku-lemparkan ke atas rumput. Namun sayang sekali, aroma amis di tanganku tidak mau pergi meski sudah kucuci dengan tanah dan air. Kucing itu memang seperti anjing sungguhan!
Pada sore hari ketika saya kembali dari luar rumah, melihat ibu duduk di meja makan sembari memandangi telepon genggamnya. Dia tersenyum-nyungging tanpa suara. “Saya baru saja bercerita tentang tingkah polah gadis bodoh itu di TikTok dan sekarang video tersebut jadi For You Page,” ujar ibu, disertai gambar wanita tidak menarik itu terlihat pada layarnya, tepat bersamaan dengan foto seluruh keluarga kita.
Muka sang bapak dibuat menjadi hitam dan kusut, sementara muka gadis itu nampak sangat jelas – tanpa polesan makeup dan berjerawatan – sejernih pula-pulanya dengan foto saya serta ibu – tentunya tampil halus karena disempurnakan oleh efek penyaring.
Dapat kuamati bahwa ribuan komentar berserakan di situ. Komentar paling atas yang kubaca membuatku merinding; itu seperti membuang berlian hanya untuk meninggalkan sampah.
Kamu lapar? Ibunya memasak kerang dan bebek.
Saya tidak menanggapi, hanya mengambil sepotong roti putih.
Ponsel saya malam itu terus berbunyi. Pesan singkat bergulir-gulir datang dari kawan-kawan lama di sekolahan.
“Itulah bapaknya yang sedang ramai dibicaraan?” tanya Salima. “Sialan perempuan hina itu,” ujar Rubi. Belum termasuk berpuluhan kutukan tambahan. Akhirnya, saya memutuskan untuk memblocir semua nomor mereka dan menghapus kontak tersebut dari buku telepon.
Tidak peduli telah tersebar kemana-mana kabar tersebut, namun aku merasakan seperti setiap orang yang melintasi jalanku ini tampaknya mengamatiku dengan seksama dari atas kepala hingga ujung sepatu. Oleh karena itu, aku pun hanya terus bergerak sambil fokus pada sebuah objek samar di kejauhan.
Tiba-tiba saja saya melihat pria di akhir gang sempit yang ingin saya lalui. Saat semakin mendekati dia, ternyata itu adalah bapak saya. Dia memandang saya dengan kesedihan.
Abaikan saja berita yang menyebar dengan cepat itu?
Ingin kucoba mengatakan akan pergi ke Tartarus, tapi akhirnya kutahan sendiri. Bapaku mendekat, membelai bahu ku, lalu meletakkan selembar uang di dalam saku-ku.
Ibu muangat itu, tapi bapa tidak akan mengutuk kau,” ujarnya, dan saya harap Sisyphus menjahanamkannya dengan batu besar.
“Kamu mungkin kesal dengan bapakmu. Namun, perkawinan merupakan sesuatu yang kompleks. Nanti saat telah beranjak dewasa, kamu pasti akan memahaminya.” Setelah mendengarnya, saya berkata dalam hati tidak ada keinginan untuk cepat besar.
Saat saya tiba di rumah, ibu telah menantiku. Berbeda dengan keadaan kemarin, kali ini ekspresinya suram.
“ayah menginginkan hak asuh atas dirimu,” kata ibu sambil bergetar.
“Meski begitu, dia masih menginginkan perceraian. Namun, ia menuntut agar yang bersangkutan kamu, bukan saya,” jelas sang ibu kembali.
“Jadi kelak kamu akan hidup bersamanya. Kelak kalian berdua akan bahagia. Sementara aku sendirian. Aku tidak mau dia bahagia. Semestinya ia juga merasakan penderitaan seperti yang saya alami,” kata sang ibu sekali lagi dengan nada serak, namun kali ini sambil meletakkan pisau buah tepat di leher saya.
Saya mengingat kisah tentang Medea yang membunuh anak-anaknya untuk membalas dendam pada suaminya, dan mungkin ibu saya saat ini seperti tersesat dalam roh dewa tersebut. Saya hanya diam dan menantikan pisau itu melukai pembuluh darah di leher saya karena pikiran bahwa hal itu bisa jadi lebih baik, karena rasanya telah lama tidak lagi makan selain roti.
Tapi, tiba-tiba saya mendengar dengungan dari luar rumah. Bunyi tersebut semakin keras dan membuat saya merasakan bahwa tangan ibu mulai berguncang. Pisau itu pun jatuh dengan bunyi berderak di lantai sementara ibu tersandung dan menjerit kesedihan.
Suara kucing tersebut makin keras sementara saya pun mengambil langkah menuju pintu. Saya perhatikan sang anjing memandangi saya dari area teras dengan tatapan mata nakalnya. Kemudian, hewan itu merunduki diri dan menyodorkan ular cobra tebel bercorak hijau di atas tikar ucapan selamat datang. Selepas itu, binatang itu berpaling serta melompat masuk ke dalam belantika hutan. Sekarang, rasa lapar sungguh-sungguh sudah menusuk perut saya. (*)
Tartarus: Neraka menurut mitologi Yunani Kuno
SASTI GOTAMA, lahir di Malang dan baru-baru ini meraih Anugerah Sabda Budaya pada tahun 2024. Karyanya paling baru yang diterbitkan dalam setahun ini berjudul “Gajah Terakhir di Bukit Kupu-Kupu” serta “Ingatan Ikan-Ikan”.