Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyatakan bahwa defisit APBN Indonesia pada tahun ini diprediksi tetap terkendali meskipun ada implementasi berbagai kebijakan dari pemerintahan Presiden Prabowo. Dia menyarankan agar masyarakat khususnya para pemain pasar modal, tidak perlu cemas.
“Oleh karena itu, jangan risau, anggaran pemerintah negara kita masih terkendali. Beberapa orang bertanya apakah anggaran pemerintah sudah melebihi batas? Jawabannya adalah tidak. Kegiatan dan program yang digagas oleh Bapak Presiden telah disesuaikan dengan rancangan anggaran pemerintahan nasional,” ungkap Sri Mulyani saat menghadiri acara diskusi ekonomi bersama Presiden Republik Indonesia di Menara Mandiri, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 8 April 2025.
Ia juga menyoroti bahwa program semacam pembangunan pedesaan, termasuk koperasi desa, ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Selanjutnya, pemikiran tentang Danantara beserta dengan cara menggunakan dividen-nya telah kami pertimbangkan,” tambahnya.
Selanjutnya, ia menyebut bahwa pengeluaran pemerintah pada masa kini masih dalam batasan yang dapat dikontrol, di mana anggaran dari Kementerian Lembaga mencapai 196 triliun rupiah. Di sisi lain, dana luar K/L, meliputi bantuan sosial serta tunjangan pensiunan, berjumlah sekitar 217 triliun rupiah.
Sri Mulyani menyebutkan bahwa angka defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2025 masih akan dipertahankan sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang setara dengan Rp616,2 triliun. Dia menjelaskan bahwa kekurangan tersebut dapat dikendalikan melalui pembelanjaan pemerintahan yang ditargetkan mencapai Rp3.621,3 triliun serta pendapatan negara senilai Rp3.005,1 triliun.
“Pembiayaan APBN dikarenakan banyak pihak bertanya tentang kemungkinan adanya defisit dalam APBN tersebut. Mereka juga penasaran besarnya defisit ini akan menjadi berapa? Rencana APBN dirancang untuk memiliki defisit sebesar 2,53%. Hal ini sesuai dengan UU APBN tahun 2024 nomor 62 yang telah disahkan oleh DPR. Angka 2,53% setara dengan defisit senilai Rp616 triliun,” terangnya.
Di samping itu, Sri Mulyani turut menjawab kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengenakan bea baru terhadap beberapa negara, di antaranya Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut tak didukung oleh landasan ekonomi yang kuat.
“Tarif resiprokal yang diumumkan Amerika Serikat kepada 60 negara lain menjelaskan bagaimana perhitungan tariff itu dilakukan, dan menurut pendapatku setiap ekonom yang telah menerima pelajaran tentang ekonomi pasti akan paham,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan tariff tersebut sebenarnya lebih dipengaruhi oleh kebutuhan Trump supaya neraca perdagangan Amerika Serikat tidak mengalami defisit dengan berbagai negara lainnya, sehingga kurang didukung oleh dasar-dasar ekonomi yang kuat.
“Itulah berarti saya tak berniat untuk bergantung pada orang lain atau membeli lebih banyak daripada apa yang dapat saya tawarkan kepada mereka. Ini semata-mata transaksional, tanpa dasar teori ekonomi,” katanya.