news  

Statistik, Bank Sentral, dan Perempuan: Memimpin Ekonomi dari Dapur Rumah

Statistik, Bank Sentral, dan Perempuan: Memimpin Ekonomi dari Dapur Rumah


Statistik, Bank Sentral dan Perempuan: Membangun Ekonomi dari Dapur Rumah



Didiq Rosadi Ali, SST., M.Sc.- Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Barat

Support kami, ada hadiah spesial untuk anda.
Klik di sini: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/


TRIBUN-SULBAR.COM, OPINI –

Di balik stabilitas ekonomi rumah tangga, ada kekuatan yang jarang tercatat dalam laporan resmi. Ia tidak selalu muncul dalam data angkatan kerja, tak tercantum dalam neraca bank, dan sering kali luput dalam diskusi forum ekonomi nasional.

Namun perannya nyata: ibu rumah tangga—perempuan yang setiap hari mengatur pengeluaran rumah tangga, menyiasati belanja di tengah fluktuasi harga, dan menyisihkan rupiah demi kebutuhan tak terduga.

Tanpa harus mempelajari teori ekonomi secara formal, para ibu ini menjalankan fungsi mikroekonomi secara naluriah. Mereka membuat keputusan-keputusan kecil yang jika dikumpulkan, membentuk denyut nadi ekonomi nasional. Ironisnya, banyak dari mereka merasa “bukan bagian dari ekonomi”—karena tak memiliki penghasilan sendiri, tidak bekerja secara formal, atau tak memiliki rekening bank. Padahal, justru dari merekalah dimulai ketahanan ekonomi di tingkat paling dasar: keluarga.

Support us — there's a special gift for you.
Click here: https://indonesiacrowd.com/support-bonus/

Coba bayangkan: ketika harga beras naik, siapa yang pertama kali menyesuaikan belanja harian? Ketika tagihan listrik membengkak, siapa yang mengatur penggunaan alat elektronik? Ketika penghasilan suami menurun, siapa yang mulai mencari tambahan penghasilan dari rumah? Jawabannya hampir selalu perempuan. Sayangnya, peran penting ini sering dianggap sekadar bagian dari “naluri” atau “kodrat”, padahal di dalamnya terkandung kemampuan manajerial, analisis risiko, dan intuisi keuangan yang tajam.

Melek Ekonomi: Bukan Pilihan, Tapi Kebutuhan

Tantangan ekonomi hari ini jauh lebih kompleks dibanding dekade lalu. Teknologi finansial berkembang pesat. Aplikasi pinjaman, investasi digital, dompet elektronik, hingga skema transaksi tanpa uang tunai bisa diakses dalam genggaman. Namun kemudahan ini membawa risiko, terutama bagi mereka yang belum siap secara pengetahuan.

Karena itu, literasi ekonomi dan finansial bukan lagi keistimewaan kaum terdidik atau profesional keuangan. Ia adalah kebutuhan hidup yang mendasar, setara pentingnya dengan kemampuan membaca dan menulis. Ibu rumah tangga yang memahami dasar-dasar ekonomi akan lebih siap membuat keputusan finansial yang aman, rasional, dan berpihak pada keberlanjutan rumah tangga.

Misalnya, memahami bahwa inflasi 3 persen berarti harga kebutuhan pokok naik rata-rata 3 persen dalam setahun, ibu akan tahu bahwa dana belanja harus disesuaikan. Mereka bisa menimbang ulang prioritas belanja, menyusun rencana pengeluaran dan bahkan menilai tawaran pinjaman yang masuk akal dan membedakannya dari jebakan utang digital. Mereka juga akan lebih peka dalam memilih produk tabungan, mencermati promosi belanja daring, dan tidak mudah tergoda investasi dengan iming-iming “cuan cepat”.

Statistik dan Bank Sentral: Bukan Hanya Milik Ahli

Namun pemahaman itu tidak lahir dari intuisi semata. Di sinilah data dan kebijakan ekonomi makro seperti suku bunga, indeks harga konsumen, atau daya beli harus dijelaskan dalam bahasa yang akrab—bahasa dapur, bukan ruang rapat.

Peran bank sentral menjadi krusial. bukan hanya bertugas menjaga kestabilan nilai tukar dan suku bunga. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan masyarakat memahami cara kerja sistem keuangan, agar dapat mengambil keputusan yang bijak.

Edukasi keuangan yang membumi, perlindungan konsumen, dan penyediaan infrastruktur sistem pembayaran digital adalah sebagian dari peran penting bank sentral di era modern.

Lewat pendekatan yang tepat, isu-isu ekonomi bisa disampaikan ke rumah-rumah dengan simpel: dari forum belanja sayur ke posyandu atau yang lebih kekinian dari siaran ke grup WhatsApp warga.

Sementara itu, statistik lebih khusus ke indikator ekonomi adalah peta yang membantu ibu rumah tangga membaca situasi terkini. Inflasi, pengeluaran rata-rata rumah tangga, dan ketimpangan daya beli bukan sekadar angka. Contoh misalnya rata-rata pengeluaran keluarga dengan empat anggota di Indonesia kini mencapai enam juta per bulan (BPS, 2025).

Memahami pola ini dapat membantu ibu rumah tangga menyesuaikan strategi keuangan—baik dalam berhemat, mencari tambahan pendapatan, maupun menyusun prioritas. Atau fenomena yang lebih mikro tentang kenaikan harga, Ia adalah pantulan realitas: apakah minggu ini bisa makan daging ayam, atau cukup telurnya saja?

Digitalisasi dan Perempuan: Peluang dan Proteksi

Era digital sekarang ini membawa peluang besar bagi perempuan untuk mandiri secara ekonomi. Banyak ibu rumah tangga yang kini membuka usaha rumahan berbasis daring, mengelola arisan digital, hingga memanfaatkan platform pembayaran seperti QRIS untuk transaksi harian.

Namun, di balik peluang itu, terdapat risiko. Laporan Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal OJK menyebut bahwa sekitar 60 persen pengaduan pinjaman online ilegal pada 2024 berasal dari nasabah perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap manipulasi digital dan minimnya edukasi keuangan.

Karena itu, peningkatan literasi finansial bagi perempuan harus menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi yang inklusif. Sosialisasi satu arah dari pemerintah tak cukup. Harus ada pendekatan komunitas, pelibatan tokoh lokal, dan sinergi antara lembaga negara, media, dan masyarakat sipil.

Menuju Smart Citizen Dimulai dari Dapur

Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang tangguh menghadapi perubahan global, pondasinya adalah keluarga yang kuat secara ekonomi. Dan di dalam keluarga, ibu rumah tangga adalah manajer keuangan utama. Maka, memberdayakan mereka dengan pengetahuan statistik dan ekonomi adalah investasi jangka panjang untuk membangun warga negara yang cerdas dan adaptif—smart citizen.

Ibu rumah tangga yang melek ekonomi bukan hanya lebih bijak dalam belanja. Ia juga bisa menjadi sumber informasi bagi komunitas, pelopor sehatnya Kementerian Keuangan Keluarga, bahkan penggerak UMKM lokal.

Selama ini, ekonomi kerap diasosiasikan dengan dunia elit, papan saham, atau angka-angka makro yang rumit. Namun pada dasarnya, ekonomi adalah tentang membuat keputusan dalam kondisi terbatas—dan ibu rumah tangga adalah pelakunya setiap hari.

Sudah waktunya kita berhenti menganggap ibu rumah tangga sebagai bagian yang pasif dari sistem ekonomi. Mereka adalah aktor aktif, pengambil keputusan, dan penjaga stabilitas.

Dengan akses pada data, literasi yang inklusif, dan kebijakan yang berpihak, kita tidak hanya membangun ekonomi keluarga yang kuat, tetapi juga meletakkan fondasi ekonomi bangsa dari tempat paling sederhana: dapur rumah.