, JAKARTA
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami besaran tarif yang dimintakan para tersangka kepada agen tenaga kerja asing (TKA) untuk mempercepat pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Hal itu didalami penyidik lewat pemeriksaan tiga saksi di Gedung Merah Putih KPK pada Kamis (12/6/2025).
Tiga saksi yang diperiksa adalah Erwin Yostinus, wiraswasta (freelance jasa pengurusan RPTKA di Kemnaker); Ety Nurhayati, karyawan swasta (staf Operasional PT Indomonang Jadi); dan Purwanto, staf iperasional PT Dienka Utama.
Ketiganya diperiksa dalam kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tahun 2019–2024 dan penerimaan gratifikasi.
“Ketiganya diperiksa terkait besaran tarif tidak resmi yang diminta oleh para rersangka agar proses pengurusan RPTKA dipercepat,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Kamis.
“Serta apa yang akan dilakukan oleh para tersangka jika uang tarif tidak resmi tersebut tidak diberikan oleh para agen TKA,” imbuhnya.
Kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi terkait TKA sudah terjadi sejak tahun 2012.
Adapun sejak 2019–2024, KPK menemukan jumlah uang yang dikumpulkan mencapai Rp53,7 miliar.
Delapan orang sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Yakni Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2020–2023 Suhartono.
Kemudian Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) tahun 2019–2024 yang kemudian diangkat menjadi Dirjen Binapenta & PKK tahun 2024–2025 Haryanto; Direktur PPTKA tahun 2017–2019 Wisnu Pramono.
Selanjutnya Koordinator Uji Kelayakan Pengesahan PPTKA tahun 2020–Juli 2024 yang diangkat menjadi Direktur PPTKA 2024–2025 Devi Anggraeni; Kepala Subdirektorat Maritim dan Pertanian Ditjen Binapenta dan PKK tahun 2019–2021 sekaligus PPK PPTKA tahun 2019–2024 dan Koordinator Bidang Analisis dan Pengendalian Tenaga Kerja Asing Direktorat PPTKA tahun 2021–2025 Gatot Widiartono.
Lalu Staf pada Direktorat PPTKA pada Ditjen Binapenta dan PKK tahun 2019–2024 Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Dalam konstruksi perkara dijelaskan, RPTKA adalah izin rencana
penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu yang diterbitkan oleh Kemnaker kepada pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA di Indonesia.
Setiap pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA wajib memiliki dokumen pengesahan RPTKA.
Pengurusan pengesahan RPTKA dilakukan di Direktorat PPTKA pada Ditjen Binapenta dan PKK Kemnaker.
Di mana dalam proses pengajuan RPTKA akan diterbitkan dua dokumen,
yaitu hasil penilaian kelayakan (HPK) dan pengesahan RPTKA.
Pengajuan kedua dokumen tersebut dilakukan secara online oleh pemohon (perusahaan/agen yang terdaftar di Kemnaker dan diberikan kewenangan untuk mengurus RPTKA).
Atas permohonan tersebut dilakukan verifikasi secara berjenjang pada Dirjen Binapenta dan PKK.
Dalam proses penerbitan pengesahan RPTKA, pihak-pihak di Kemnaker melalui pegawai di Direktorat PPTKA diduga melakukan pemerasan kepada pemohon.
KPK menduga tersangka Suhartono, Wisnu, Haryanto, dan Devi memerintahkan Putri, Alfa, dan Jamal selaku verifikator di Direktorat PPTKA untuk meminta sejumlah uang kepada pemohon agar dokumen RPTKA disetujui dan diterbitkan.
Adapun permintaan uang dilakukan dengan modus sebagai berikut:
1. Dalam proses permohonan RPTKA secara online oleh pemohon, PCW, ALF, dan JMS, hanya memberitahukan kekurangan berkas melalui WhatsApp kepada pihak pemohon yang sudah pernah menyerahkan sejumlah uang pada pengajuan sebelumnya, atau pemohon yang menjanjikan akan menyerahkan uang setelah RPTKA selesai diterbitkan. Sedangkan bagi pemohon yang tidak memberikan uang, tidak diberitahu kekurangan berkasnya, tidak diproses, atau diulur-ulur waktu penyelesaiannya.
2. Pemohon yang tidak diproses akan mendatangi kantor Kemnaker dan bertemu dengan petugas. Pada pertemuan tersebut, PCW, ALF, dan JMS menawarkan bantuan untuk mempercepat proses pengesahan
RPTKA, dan meminta sejumlah uang. Setelah diperoleh kesepakatan, maka pihak Kemnaker menyerahkan nomor rekening tertentu untuk menampung uang dari pemohon.
3. Dalam proses pengajuan RPTKA juga terdapat tahapan wawancara terkait identitas dan pekerjaan TKA yang akan dipekerjakan, melalui Skype dengan jadwal yang ditentukan secara manual. PCW, ALF, dan JMS tidak memberikan jadwal Skype pada pemohon yang tidak memberikan uang dalam pengurusan RPTKA tersebut.
4. RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKA untuk memenuhi persyaratan-persyaratan lain terkait izin kerja dan izin tinggal. Apabila RPTKA tidak diterbitkan, maka penerbitan izin kerja dan izin tinggal TKA akan terhambat.
Hal ini menyebabkan pengeluaran denda kepada TKA selama RPTKA belum terbit, yaitu sebesar Rp1 juta per hari. Sehingga para pemohon RPTKA terpaksa memberikan sejumlah uang kepada Direktur PPTKA dan Dirjen Binapenta melalui PCW, ALF, JMS selaku verifikator, supaya tidak terkena denda.
5. SH, WP, HY, dan DA juga memerintahkan pegawai Direktorat PPTKA agar memprioritaskan pengesahan RPTKA untuk pihak pemohon yang telah menyerahkan sejumlah uang. Selain memberikan perintah untuk meminta uang, SH, WP, HY, dan DA secara aktif meminta dan menerima uang dari GTW, PCW, ALF, JMS yang bersumber dari pengajuan RPTKA, dan digunakan untuk keperluan pribadi. Selain itu, uang dari pemohon tersebut dibagikan setiap dua minggu dan membayar makan malam pegawai di Direktorat PPTKA.