Jakarta – Tuntutan buruh untuk menaikkan upah minimum sebesar 10% pada tahun 2025 mendapat penolakan dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani. Shinta menyatakan bahwa pengusaha tidak bisa memenuhi permintaan kenaikan tersebut secara merata di seluruh daerah. “Kenaikan upah minimum (UMP) tidak bisa disamakan untuk semua wilayah di Indonesia,” ujar Shinta di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (30/10/2024).
Shinta menegaskan bahwa Apindo akan tetap mengikuti aturan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang mengatur formulasi kenaikan UMP berdasarkan tiga variabel: inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. “Prinsip kami mengikuti PP 51 Tahun 2023, yang sudah jelas mengatur formulanya,” tambahnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai bahwa permintaan kenaikan upah sebesar 8-10% adalah wajar, seiring kenaikan inflasi tahunan. “Menurut saya, wajar jika buruh meminta kenaikan 8-10% karena harus ada penyesuaian upah terhadap inflasi,” jelasnya pada Kamis (24/10/2024). Menurutnya, dengan ekonomi yang menunjukkan deflasi selama lima bulan berturut-turut, daya beli masyarakat melemah.
Kondisi ini juga terlihat dari tingginya alokasi pendapatan untuk kebutuhan pangan hingga 50-60%, sementara anggaran untuk pendidikan dan kesehatan relatif kecil. Di sisi lain, Esther menambahkan, peningkatan biaya produksi yang menaikkan harga barang memerlukan kontrol harga kebutuhan pokok oleh pemerintah.
Sementara itu, aksi nasional yang melibatkan sekitar 5 juta buruh dari berbagai sektor, termasuk transportasi, semen, pariwisata, serta pekerja pelabuhan, akan digelar pada November 2024. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan aksi mogok ini diprakarsai untuk menuntut kenaikan upah minimum dan pencabutan UU Cipta Kerja. “Rencana mogok nasional ini sudah disetujui berbagai konfederasi serikat buruh, dengan estimasi 15.000 pabrik akan menghentikan produksi pada 11-12 atau 25-26 November 2024,” terang Said Iqbal.
Said menambahkan bahwa mogok ini akan dilakukan di luar lokasi pabrik sebagai bentuk penyampaian pendapat di muka umum, sesuai UU No. 9 Tahun 1998, bukan UU No. 13 Tahun 2003 tentang mogok di tempat kerja. “Ini bukan negosiasi dengan perusahaan, tetapi perjuangan melawan Omnibus Law yang memengaruhi seluruh pekerja di Indonesia,” tandasnya.