Jakarta – Bank Dunia menyoroti bahwa harga beras di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Ironisnya, meskipun harga beras tinggi, hal ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan para petani.
Country Director Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyatakan bahwa salah satu penyebab tingginya harga beras di Indonesia adalah kebijakan pembatasan impor dan keputusan pemerintah yang menaikkan harga jual beras. Kebijakan tersebut justru berdampak negatif pada daya saing sektor pertanian Indonesia. Lebih parahnya lagi, harga beras yang tinggi tidak membuat para petani lebih sejahtera.
“Kita melihat bahwa banyak petani di Indonesia, terutama yang marginal, memiliki pendapatan yang jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali di bawah garis kemiskinan,” ungkap Carolyn pada Sabtu (21/9/2024).
Pendapatan harian petani hanya sekitar Rp15.207 atau setara dengan USD1. Artinya, dalam setahun petani hanya memperoleh sekitar Rp5 juta atau USD34, jumlah yang jauh dari upah minimum.
Merespons isu ini, Badan Pangan Nasional (BPN) melalui Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan, Rachmi Widiriani, menyarankan petani untuk menggunakan benih unggul dan berkualitas agar produksi beras meningkat tanpa menaikkan harga terlalu tinggi. Dengan demikian, diharapkan kesejahteraan petani bisa membaik.
“Pemerintah terus berupaya meningkatkan kesejahteraan petani. Harus ada keseimbangan, di mana petani mendapatkan harga yang layak, sementara konsumen bisa membeli beras berkualitas dengan harga terjangkau,” ujar Rachmi.
Selain penggunaan benih unggul, pemerintah juga mendorong penggunaan pupuk yang tepat serta pemanfaatan teknologi seperti drone untuk efisiensi biaya operasional. Penggunaan drone diharapkan mampu menghemat biaya produksi hingga 30%, yang pada akhirnya bisa meningkatkan keuntungan petani.