Cinta, Latih, Asuh untuk Surga

Cinta, Latih, Asuh untuk Surga

Nilai-nilai Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan masyarakat Sunda, terdapat falsafah hidup yang dikenal sebagai silih asih, silih asah, dan silih asuh. Falsafah ini sering dijumpai dalam berbagai bentuk, mulai dari dinding lembaga, kop surat, hingga kemasan makanan khas Jawa Barat. Namun, apakah kita benar-benar menghayati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari?

Silih Asih: Kasih Sayang sebagai Fondasi

Silih asih merujuk pada saling mengasihi. Kata “saling” menunjukkan hubungan dua arah, bukan hanya antara individu satu sama lain, tetapi juga antara kita dan lingkungan sekitar. Dalam konteks ini, kasih sayang menjadi dasar dari segala tindakan. Tanpa rasa kasih sayang, upaya untuk saling memperbaiki diri atau saling menjaga akan kehilangan maknanya.

Dalam agama Islam, cinta kasih juga ditekankan. Setiap perbuatan idealnya dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim, yang mengingatkan bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika kita benar-benar memahami hal ini, maka tindakan kita akan selalu berhati-hati agar tidak melukai, menyebabkan kebencian, atau merusak.

Namun, mengamalkan silih asih tidaklah mudah. Terkadang, kebaikan yang kita berikan justru dibalas dengan keburukan. Hal ini membuat banyak orang tergoda untuk membalas dengan cara yang lebih buruk, sehingga timbul dendam yang tak berujung. Padahal, kasih sayang yang sejati harus bebas pamrih. Jangan berharap balasan dari orang yang sama, karena menebar kasih adalah tugas, bukan transaksi.

Silih Asah: Meningkatkan Pengetahuan dan Kreativitas

Silih asah merujuk pada saling menajamkan pengetahuan dan memperbaiki diri. Leluhur Sunda telah sadar sejak lama bahwa pengetahuan adalah kunci kemajuan. Dari pengetahuan lahirlah kreativitas, dan dari kreativitas lahir inovasi. Namun, silih asah membutuhkan keterbukaan hati. Hanya mereka yang “selesai dengan dirinya” yang mampu berbagi ilmu dengan ikhlas.

Banyak orang enggan berbagi ilmu karena takut rezekinya berkurang, takut tersaingi, atau takut kehilangan ketenaran. Padahal, berbagi ilmu justru memperkaya. Ibarat lilin yang menyalakan lilin lain, cahayanya justru berlipat ganda.

Silih Asuh: Mengasuh dengan Kasih Sayang

Silih asuh berarti saling mengasuh, menjaga, melindungi, membimbing, dan mengingatkan. Semua itu harus dilandasi kasih sayang agar tidak terasa menjadi beban. Dalam hubungan asuh-mengasuh, tumbuh ikatan batin yang cair. Yang diasuh tidak merasa digurui, yang mengasuh pun tidak merasa terbebani, karena keduanya sama-sama bertumbuh.

Mengasuh bukan hanya memberi nasihat, tetapi juga menjaga dari hal-hal yang mengancam kehidupan. Mengasuh juga berarti menuntun dengan teladan nyata. Contohnya, Mahatma Gandhi pernah diminta menasihati seorang anak agar berhenti makan garam. Ia menolak saat itu juga, lalu berpuasa garam selama seminggu. Setelah itu, barulah ia memberi nasihat. Karena teladannya nyata, anak itu pun menuruti dengan rela.

Demikian pula dalam mengingatkan. Banyak orang pandai menegur, tapi caranya kasar dan merendahkan. Akibatnya, teguran justru melahirkan permusuhan baru. Mengingatkan sebaiknya dilakukan dengan kasih sayang, bahkan sedemikian halus hingga yang diingatkan tidak merasa sedang ditegur.

Sayangnya, kita sering hanya berani menegur yang setara atau di bawah kita, enggan mengingatkan mereka yang memiliki jabatan lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kita masih belum sepenuhnya menghayati nilai silih asuh dalam kehidupan sehari-hari.