Jadi penulis itu memang tidak mudah. Mesti menuangkan ide dengan kata-kata, menghabiskan waktu sampai berjam-jam. juga melakukan proses editing agar karya yang dihasilkan bisa tampil sempurna.
Tapi kadang kala, artikel yang dibuat dengan percaya diri masih belum mampu untuk meluluhkan hati editor. Nah, kalau kamu hadapi situasi semacam itu, bagaimana responsmu? Langsung nyerah? Atau gas terus? Mari cek bersama!
1. Galau akut, otw rebahan
Tipe pertama sih mereka langsung berpasrah. Tanpa banyak cakap, perasaan mereka seketika hancur. Menjadikan mereka galau seharian. Kemudian terbesit di pikiran bahwa obat paling mujarab adalah langsung rebahan.
Kasus yang semacam ini biasanya menyasar para penulis pemula. Meskipun penulis lama juga.tidak mustahil untuk alami hal serupa. Tapi kebanyakan penulis pemula ingin tulisannya segera terbit.Tidak ada salahnya sih, cuma harus sadar diri juga sama kualitas tulisan. Tidak ada yang instan.
2. Mental kena, merasa tidak berbakat
Sudah menulis belasan artikel, diramu dengan bahasa yang ciamik, eh masih dapat penolakan juga. Rasanya nyelekit sih. Seolah merasa bahwa editor pilih-pilih penulis. Padahal dia sendiri tidak tahu situasi apa yang tengah editor alami. Barangkali atrean panjang tulisan sedang meneror mereka. lya, kan?
Penulis-nomor dua ini juga kadang langsung berkecil hati. Merasa bahwa ia tidak punya bakat untuk menulis. Sehingga ia berpikir untuk berhenti saja. Toh, ngapain capek-capek nulis tapi tidak kunjung dilirik. Mending tidur aja dah.
3. Bersikap dewasa, langsung revisi mandiri
Kalau ini sih yang levelnya sudah kebal sama penolakan. Dibanding baper, ia memilih untuk melihat kekurangan karyanya. Mungkin bukan editor yang kejam, tapi ia sendiri yang nulisnya asal-asalan. Asal jadi, asal comot sama sini, tanpa diolah dengan gaya bahaya sendiri. Tidak autentik, dong.
Nah, makanya, penulis yang ini termasuk berjiwa dewasa. Dari pada drama dengan diri sendiri, ia langsung bergegas untuk memperbaiki tulisannya. Menjadikan karyanya lebih layak dan pantas untuk diterbitkan di kemudian hari. Tipe-tipe penulis yang santai tapi serius dan mau untuk berjuang.
4. Bodoh amat, tekan terus
Ini sih dia pemberani. Penolakan sudah tidak lagi sebuah momok baginya. Bahkan ia sudah skeptis alias bodoh amat. Ini pada artian yang positif ya. Maksudnya ia sudah tidak mempermasalahkan lagi artikelnya ditolak, karena ia sadar diri. Juga sudah kenyang akan penolakan.
Lantas, apa yang dilakukannya? Menulis terus dong. Seolah fokusnya adalah menulis agar terbit segera. Persoalan ditolak itumemang bumbu-bumbu yang harus ada. Agar kegiatan menulis tidak monoton. Menghasilkan sebuah tantangan yang memang pantas untuk dimenangkan.
5. Kirim ke media lain
Kalau ini sih rada-rada cerdik. la memanfaatkan terknologi yang tengah berkembang saat ini. Paham betul kalau media yang menyediakan kesempatan untuk penerbitan naskah tidak hanya satu atau dua saja. Malah yang ada bejibun. Jadi, kenapa harus fokus sama satu saja. Pemikiran yang sederhana tapi harus diakui cermat.
Sehingga penolakan baginya adalah sebuah cerita yang berulang. Tidak perlu dikhawatirkan, tinggal geser ke media lain. Apa susahnya. Toh tujuannya sama. Agar bisa tayang dan disaksikan jutaan pembaca dari seluruh penjuru dunia.
Nah, dari pemaparan di atas, kira-kira kamu termasuk yang mana, nih? Jangan-jangan yang nomor pertama? Atau yang nomor empat? Bagikan kisahmu di kolom komentar, ya!