Standar hidup memang dijadikan sebagai patokan dalam meraih tujuan. Bahkan ini membantu menciptakan kehidupan yang terarah jika dikelola dengan bijaksana. Setiap generasi tentu memiliki standar hidup masing-masing yang ingin dicapai. Tidak terkecuali dengan Milenial dan Gen Z. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, seringkali Milenial dan Gen Z terjebak standar hidup yang sebenarnya tidak realistis.
Standar hidup tersebut tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Namun, justru dianggap sebagai prioritas yang wajib dicapai. Kondisi ini tentu dapat memicu ketidakseimbangan. Lantas, apa yang membuat Milenial dan Gen Z sering terjebak standar hidup tidak realistis? Apakah karena dipengaruhi oleh empat alasan di bawah ini?
1. Pengaruh kehidupan sempurna yang ditampilkan di media sosial
Media sosial menjadi bagian terpisahkan dari kehidupan generasi muda. Milenial dan Gen Z memanfaatkan ini sebagai sarana hiburan dan mengekspresikan diri. Ternyata kehadiran media sosial sedikit banyak turut mempengaruhi cara generasi muda dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai. Terutama penetapan standar hidup Milenial dan Gen Z tanpa diimbangi oleh pertimbangan realistis.
Mereka terpaku pada pengaruh kehidupan sempurna yang ditampilkan media sosial. Apalagi diiringi dengan fenomena takut tertinggal tren atau FOMO. Standar perfeksionis yang berlaku di media sosial dijadikan sebagai patokan utama dalam mengambil keputusan. Seperti menjalani gaya hidup mewah, mengoleksi barang-barang
branded
, atau gaya hidup yang mengedepankan hobi
traveling
ke tempat eksotis.
2. Budaya konsumerisme yang menjadi tren
Standar hidup tidak realistis pada akhirnya akan merusak keseimbangan. Seseorang tidak benar-benar menikmati kehidupan yang sedang dijalani. Meskipun dari luar terlihat bahagia, ekspresi tersebut tidak lebih dari ilusi dan ekspresi manipulatif. Di sinilah kita perlu mengetahui alasan Milenial dan Gen Z sering terjebak standar hidup tidak realistis.
Salah satunya budaya konsumerisme yang menjadi tren. Banyak Milenial dan Gen Z ingin menikmati kehidupan yang mapan dan “hedon”. Namun tidak diimbangi dengan kondisi finansial yang stabil. Mereka mengikuti budaya konsumerisme yang sedang menjadi tren agar diterima oleh lingkup pergaulan. Terdapat perasaan bangga ketika kehadirannya diakui dan diterima dengan tangan terbuka.
3. Persepsi sukses yang mengalami pergeseran
Pernahkah membandingkan persepsi sukses antara generasi dulu dengan generasi sekarang? Ternyata mengalami perbedaan yang sangat jauh, bukan? Generasi dulu mungkin beranggapan jika kesuksesan bisa diraih dengan konsistensi dan kesabaran. Seseorang harus menjalani prosesnya secara bertahap dari waktu ke waktu. Tapi
mindset
ini tentu tidak lagi diterapkan oleh generasi muda.
Pengaruh teknologi digital dengan kemudahan serba instan telah mengambil alih persepsi kesuksesan itu sendiri. Narasi
hustle culture
dan
entrepreneurship
di usia muda menciptakan ilusi bahwa semua bisa kaya dengan cepat. Seseorang menganggap jika kekayaan bisa diraih dengan cara instan dalam waktu sesaat. Menanamkan pemahaman kesuksesan tanpa harus melewati proses panjang di baliknya.
4. Kesenjangan ekonomi dan harapan yang tidak realistis
Standar hidup yang tidak realistis sebenarnya membebani diri. Seseorang terjebak dalam ketidakpastian dan ketidakseimbangan. Tapi bagi Milenial dan Gen Z, standar hidup yang tidak realistis justru dijadikan sebagai patokan. Mereka memandang ini sebagai prioritas tujuan yang wajib dicapai. Bahkan rela menomorduakan aspek penting lain hanya untuk meraih standar yang bersifat semu.
Tentu ada yang menarik untuk diamati lebih lanjut. Mengapa Milenial dan Gen Z sering terjebak standar hidup tidak realistis? Bisa saja ini dipengaruhi oleh kesenjangan ekonomi dan harapan luar batas kemampuan. Pada umumnya generasi muda memiliki gaya hidup tinggi dengan pendapatan yang stagnan. Tapi di satu sisi, memiliki ambisi ingin sukses dalam waktu cepat. Kesenjangan ekonomi dan harapan menciptakan jurang antara realita dengan ekspektasi.
Standar hidup yang tidak realistis menjadi tujuan hidup yang wajib dievaluasi. Terutama bagi Milenial dan Gen Z yang masih sering terjebak fenomena tersebut. Kondisi demikian pada akhirnya memicu ketidakseimbangan dalam berproses. Menjadi bagian dari Milenial dan Gen Z, apakah kamu masih sering terjebak dalam situasi tersebut?