news  

10 Naskah Khutbah Jumat 2025: Menata Hidup dan Persiapan Kematian

10 Naskah Khutbah Jumat 2025: Menata Hidup dan Persiapan Kematian

Rukun Hari Jumat dan Pentingnya Khutbah

Salah satu rukun dalam hari Jumat adalah penyampaian khutbah oleh khatib. Dalam Islam, disarankan agar khutbah tidak terlalu panjang agar jemaah tidak merasa bosan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad, terdapat ajuran untuk menyampaikan khutbah secara singkat. Hadits tersebut berbunyi:

“Dan dari Ammar bin Yasir (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya panjangnya sholat dan pendeknya khutbah seorang khatib adalah tanda kepahaman seseorang tentang agama. Oleh karena itu panjangkanlah sholat dan persingkatlah khutbah; sesungguhnya dalam penjelasan singkat ada daya tarik.'”

Dalam artikel ini, kita akan membahas 10 naskah khutbah Jumat terbaru yang mengulas topik tentang menata hidup dan persiapan kematian.

Menata Hidup

1. Berlepas Diri dari Kehidupan yang Melalaikan dan Membuat Rugi

Khutbah I:
“Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, pemimpin umat manusia. Kita diingatkan untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jangan sekali-kali meninggalkan dunia ini kecuali dalam keadaan Islam dan khusnul khotimah.”

Waktu adalah kehidupan. Jika sebagian waktu kita hilang secara percuma maka hilang pula sebagian usia kita. Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian, karena memutus hubungan kita dengan Allah dan akhirat. Kematian hanya memutus hubungan dengan kehidupan dunia dan sanak keluarga. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Ashr ayat 1-3:

“Demikian masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh serta saling menasihati supaya menaati kebenaran dan kesabaran.”

Jamaah yang berbahagia, waktu menjadi bermakna jika didasari dengan iman yang kokoh. Ditindak lanjuti dengan aneka kesalehan, diperindah dan dikembangkan dengan nasihat dan menasehi tentang kebenaran dan kesabaran. Waktu sangat berharga dalam kehidupan kita, waktu tidak dapat berputar kembali, waktu akan berputar sesuai porosnya. Maka kita harus cerdas membagi dan menghormatinya. Memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya demi menghasilkan dan keberkahan bagi kehidupan kita.

Agar terhindar dari kerugian, kita harus mengisi waktu dengan empat hal sebagaimana yang telah diabadikan Allah pada surah Al-Ashr. Pertama, iman yang benar. Kedua, amal soleh yang didasari oleh iman. Ketiga, saling menasehati dalam kebenaran. Keempat, saling menasehati dalam kesabaran.

2. Menembus Pintu Rahmat Allah

Khutbah I:
“Rahmat Allah adalah anugerah terbesar yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Dalam Al-Qur’an, rahmat Allah disebutkan sebagai sumber kebahagiaan abadi bagi orang-orang yang beriman. Salah satu contohnya adalah firman Allah dalam QS. Ali Imran: 107: “Adapun orang-orang yang berwajah putih berseri, mereka berada dalam rahmat Allah (di surga). Mereka kekal di dalamnya.”

Ayat ini memberikan gambaran yang sangat indah. Wajah ahli surga bersinar putih berseri-seri karena mereka berada dalam rahmat Allah. Rahmat ini membawa mereka kepada kebahagiaan abadi. Namun, bagaimana cara mendapatkan rahmat tersebut? Jawabannya adalah dengan ketakwaan, keimanan, dan amal saleh yang dilakukan dengan ikhlas.

Allah juga menegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 218: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini menunjukkan bahwa rahmat Allah adalah sesuatu yang diharapkan oleh orang-orang yang beriman. Namun, harapan ini tidak cukup hanya dengan doa. Harapan ini harus diwujudkan melalui keimanan yang kokoh, hijrah untuk meninggalkan keburukan, dan perjuangan di jalan Allah. Dalam tafsirnya, para ulama menjelaskan bahwa orang-orang yang disebut dalam ayat ini adalah mereka yang telah berkorban demi agama Allah baik dengan harta, tenaga, maupun jiwa mereka.

Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, sebesar apapun amal kebaikan kita, itu semua tidak akan cukup untuk memasukkan kita ke dalam surga tanpa rahmat Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada amalan seorang pun di antara kalian yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah.” Hadits ini menjadi pengingat bagi kita bahwa surga terlalu agung untuk dicapai dengan amal kita semata. Amal kita adalah bentuk ketaatan kepada Allah, tetapi rahmat Allahlah yang menjadi faktor utama yang menentukan keselamatan kita. Bahkan Rasulullah, manusia paling mulia, menyatakan bahwa beliau pun membutuhkan rahmat Allah.

3. Memahami Qadha, Qadar, dan Tanggung Jawab Hamba di Hadapan Allah

Khutbah I:
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik ataupun buruk menurut ukuran kita, semuanya adalah atas kehendak dan kekuasaan Allah swt. Dalam surah As-Shaffat ayat 96, Allah SWT berfirman: ‘Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat.’ Ayat ini menegaskan bahwa seluruh perbuatan manusia pada hakikatnya terjadi dengan iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah swt. Namun, muncul pertanyaan: Jika segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah, apakah manusia ini terpaksa (majbur) dalam semua perbuatannya? Dan jika benar demikian, mengapa Allah meminta pertanggungjawaban atas amal perbuatan kita?”

Jawabannya, jamaah sekalian, bahwa manusia tidak sepenuhnya terpaksa atas apa yang ia lakukan. Allah memberikan kepada manusia sesuatu yang disebut iradat juz’iyyah atau kehendak lokal. Dengan kehendak ini, manusia mampu memilih dan memalingkan dirinya kepada kebaikan atau keburukan. Selain itu, manusia juga dianugerahi akal yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Apabila seseorang memilih kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala atas usahanya. Sebaliknya, apabila ia memilih keburukan, maka ia akan mendapatkan balasan atas kejahatannya.

Artinya, manusia tetap bertanggung jawab atas pilihannya, meskipun semuanya terjadi dalam lingkup kehendak Allah swt. Namun, ada pertanyaan lain yang sering muncul: Jika Allah menciptakan manusia yang baik dan menghadiahinya surga, sementara ada manusia yang diciptakan buruk lalu disiksa di neraka, apakah itu berarti Allah tidak adil?

Ketahuilah bahwa kita semua adalah milik Allah. Allah berhak melakukan apa pun terhadap makhluk-Nya sesuai kehendak-Nya. Sebagai contoh, jika kita memiliki dua ekor ayam, lalu kita memutuskan untuk menyembelih satu dan memelihara yang lain, apakah ada yang bisa menuduh kita tidak adil? Tidak, karena keduanya adalah milik kita. Namun, meskipun kita memiliki kebebasan terhadap ayam tersebut, kita tetap terikat dengan aturan agama dan aturan umum. Kita tidak boleh menyiksa ayam tersebut secara semena-mena, karena itu melanggar norma umum juga perintah Allah. Berbeda dengan manusia, Allah tidak terikat oleh hukum atau aturan apa pun. Allah adalah sang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Segala perbuatan-Nya pasti mengandung hikmah, meskipun terkadang hikmah tersebut tidak bisa dijangkau oleh akal manusia.

4. Berhati-hatilah dalam Memilih Rujukan Agama

Khutbah I:
“Di era digital ini banyak orang yang diulamakan oleh penikmat media sosial. Dia bukan ahli di bidang agama tapi diidolakan dan diagung-agungkan bahkan menjadi rujukan utama dalam segala tindakan dan perbuatan, tidak terkecuali dalam beramaliyah sehari-hari. Legitimasi dan pengakuan terhadapnya seringkali melebihi pengakuan terhadap ulama besar dan gurunya sendiri yang sudah lama memberi bimbingan, pembelajaran bahkan keteladanan, sehingga ketika terjadi perbedaan pandangan, maka dialah yang menjadi pilihannya.”

Maka, kenali dulu di pesantren atau institusi pendidikan mana dia belajar, seperti apa profil lembaga pendidikannya dan siapa gurunya. Perlu diidentifikasi dari tiga sisi, yaitu seperti apa corak pemikirannya, bagaimana amaliyahnya dan bagaimana pula bentuk gerakannya. Jangan hanya karena kenal melalui media sosial lantas kita proklamirkan sebagai orang yang ahli agama. Jangan karena petuahnya masuk akal lalu kita jadikan pedoman dalam memutuskan problematika hukum.

Ciri berikutnya orang yang dapat dijadikan rujukan adalah mereka yang betul-betul ahli dalam ilmu agama. Mampu memahami Al-Qur’an dan hadits dengan baik, begitu juga perangkat-perangkat keilmuan lainnya yang menunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah pernah berpesan: “Maka, jangan kamu meriwayatkan suatu ilmu kecuali dari orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut.”

Tidak boleh sembarang orang dijadikan rujukan untuk kasus-kasus krusial yang membutuhkan pemahaman yang mendalam. Tidak boleh setiap orang diberi panggung untuk memutuskan perkara yang sangat penting, terutama bagi umat Islam. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin juga menegaskan: “Kalau merupakan perkataan dan tindakan yang detail dan hal-hal yang berhubungan dengan ijtihad, maka orang awam tidak boleh memulai dalam melakukan pengingkaran, melainkan aktivitas tersebut harus dilakukan oleh para ulama.”

5. Bahaya Sifat Munafik

Khutbah I:
“Sifat munafik adalah ancaman serius bagi kehidupan umat Islam, baik dalam hubungan kita dengan Allah SWT maupun sesama manusia. Seorang munafik menampakkan keimanan di luar, namun menyembunyikan kekufuran atau ketidakikhlasan di dalam hati. Mereka sering berbohong, mengingkari janji, dan tidak konsisten dalam tindakan. Hal ini terjadi pada masa Hijrahnya Rasulullah SAW. Dalam kitab Rahiqul Makhtum, Safiur Rahman Mubarakfuri menyebutkan tantangan yang dihadapi kaum Muslimin di Madinah adalah kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Mereka enggan berperang bersama Rasulullah, merusak persaudaraan, dan menyebar fitnah di Madinah. Dalam Perang Uhud, setelah kemenangan awal di Perang Badar, sebagian orang munafik merasa takut dan kecewa ketika musuh kembali menyerang. Mereka berpura-pura setia kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi hati mereka tidak sepenuhnya beriman. Mereka menyebarkan keraguan di kalangan kaum Muslimin dan berusaha menghindari peperangan.”

Hadits ini berkaitan dengan keimanan seseorang, Imam Al-Kirmani dalam kitab Fathul Bari, dalam bab ‘alamatul munafiq, halaman 111 menjelaskan: “Sifat Munafik itu adalah tanda dari tidak adanya iman.”

6. Tak Ada yang Bisa Lari dari Sakitnya Kematian

Khutbah I:
“Tidak ada satu makhlukpun Allah ciptakan abadi atau kekal selamanya di dunia ini. Tidak ada pandang bulu, apa dia orang baik, durhaka, kuat, kaya, miskin atau berpangkat, raja, rakyat jelata, semuanya pasti akan mati. Allah berfirman: ‘Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.”

Ayat diatas Allah telah memberi pemahaman kepada kita bahwa semua manusia pasti akan mati dan sebelum mati manusia pasti akan diuji dengan berbagai ujian. Semua ujian itu merupak suatu membuat kita tidak senang seperti sakit, kemiskinan dan kemajian. Selain itu kita juga diuji dengan kebaikan dan kesenangan, seperti kekayaan, harta yang banyak dan ilmu yang kita miliki. Maka kita sebagai orang beriman semua hal itu perlu disadari bahwa kehidupan didunia ini adalah sementara, diakhirat kita akan bertemu dengan kehidupan yang sebenarnya lagi kekal dan abadi selamanya.

7. Bersiaplah Menuju Kematianmu

Khutbah I:
“Pada khutbah kali ini tema yang akan khatib sampaikan adalah tentang Persiapan Menuju Kematian. Inilah tema yang sangat penting di antara tema-tema yang lainnya yaitu, persiapan menuju kematian. Sebab pada akhirnya, siapapun kita, walaupun memiliki gelar profesor, doktor dengan jabatan tinggi, dan memiliki kekayaan berlimpah ruah, toh akan mengalami kematian cepat atau lambat, suka atau tidak suka.”

Mengingat kematian sudah sepatutnya dilakukan kapan pun dan di mana pun oleh muslim. Seperti dalam penyampaian khutbah Jumat tentang kematian agar kaum muslimin juga bisa mempersiapkan diri dengan baik. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa sebaik-baik orang beriman adalah ia yang senantiasa mengingat kematian. Hal ini bersumber dari hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA.

8. Mengingat Kematian dan Amalan Sesudah Pemakaman

Khutbah I:
“Mari kita renungkan satu kenyataan yang pasti, yaitu kematian. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan ajalnya tiba. Kematian adalah takdir yang pasti, namun waktu dan caranya penuh misteri. Kematian seharusnya menjadi pengingat untuk mempersiapkan diri dengan amal kebaikan dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam menghadapi kematian, Rasulullah mengajarkan beberapa amalan yang harus kita lakukan setelah pemakaman. Salah satunya adalah berdoa untuk jenazah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Usman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mengingatkan para sahabat untuk mendoakan jenazah setelah dikuburkan. Rasulullah bersabda: “Mohonkanlah ampun dan keteguhan hati bagi saudaramu ini, karena ia sekarang sedang ditanya.”

Dari