10 Kuliner Legendaris Yogya: Sebagian Bertahan Sejak 1940

by

Menjelajahi Yogyakarta identik dengan petualangan kuliner. Di balik gemerlap kafe modern yang kian menjamur, denyut nadi kuliner legendaris Kota Gudeg masih terasa kuat, menawarkan cita rasa autentik yang tak lekang oleh waktu. Sebagian dari warisan rasa ini bahkan telah dikelola turun-temurun hingga generasi ketiga, menjaga keaslian resep yang teruji oleh zaman, bahkan sejak era kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan kuliner di Yogyakarta tidak lengkap tanpa mencicipi aneka hidangan yang telah menjadi saksi sejarah. Berikut adalah daftar kuliner legendaris Yogyakarta yang wajib Anda coba untuk merasakan pengalaman gastronomi yang tak terlupakan.

1. Gudeg Yu Djum (Sejak 1950): Sang Maestro Gudeg Kering

Gudeg gaya kering yang legendaris ini dirintis oleh Djuwariah, yang akrab disapa Yu Djum. Berawal dari gerobak sederhana di pinggir jalan kawasan Wijilan, ketekunan Yu Djum dalam mempertahankan resep gudeg yang dimasak hingga benar-benar matang dan kering, menjadikannya standar emas bagi cita rasa gudeg Yogyakarta.

  • Lokasi: Jalan Wijilan Nomor 167.
  • Jam Operasional: 06.00 – 22.00 WIB.
  • Pengalaman: Pengunjung dapat menyaksikan langsung proses pengemasan gudeg ke dalam besek bambu atau kendil tanah liat.
  • Harga: Mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 300.000, tergantung ukuran kemasan.

2. Lupis Mbah Satinem (Sejak 1963): Kelezatan Tradisional yang Mendunia

Nama Mbah Satinem mulai dikenal luas, bahkan hingga kancah internasional, berkat penampilannya dalam sebuah dokumenter Netflix. Namun, sebelum itu, ia telah berjualan jajanan pasar sejak era 1960-an. Mbah Satinem tetap setia pada metode tradisional dalam meracik lupis, gatot, dan tiwul di pinggir jalan kawasan Diponegoro.

  • Lokasi: Kawasan Diponegoro.
  • Jam Operasional: Mulai pukul 05.30 WIB.
  • Keunikan: Mbah Satinem masih menggunakan teknik pemotongan lupis dengan benang putih, sebuah metode kuno yang dijaga demi mempertahankan tekstur lembut lupis agar tidak mudah hancur.
  • Harga: Mulai dari Rp 10.000.

3. Sate Klatak Pak Bari (Sejak 1992): Inovasi Jeruji Besi untuk Daging Kambing

Meskipun secara mandiri didirikan oleh Pak Bari pada tahun 1992, resep sate klatak ini merupakan warisan dari kakeknya, Mbah Amad, yang telah mempopulerkan penggunaan jeruji besi untuk membakar sate sejak tahun 1940-an. Sate klatak menawarkan cita rasa daging kambing muda yang unik, hanya dibumbui dengan garam.

  • Lokasi: Di dalam Pasar Wonokromo.
  • Jam Operasional: 18.30 – 01.00 WIB.
  • Filosofi Jeruji Besi: Penggunaan jeruji besi sepeda berfungsi sebagai konduktor panas yang optimal, memastikan daging matang merata hingga ke bagian terdalam.
  • Harga: Sekitar Rp 25.000 per porsi.

4. Oseng-Oseng Mercon Bu Narti (Sejak 1998): Ledakan Pedas di Tengah Krisis

Lahir di masa krisis moneter tahun 1998, Bu Narti mencoba berinovasi dengan mengolah bagian tetelan dan lemak sapi menjadi hidangan super pedas. Tak disangka, kreasi ini justru meledak di pasaran dan menjadi cikal bakal tren kuliner pedas di Yogyakarta. Nama “mercon” sendiri diberikan oleh pelanggan yang merasakan sensasi pedas yang dahsyat.

  • Lokasi: Warung tenda di Jalan KH Ahmad Dahlan.
  • Jam Operasional: 16.00 – 23.00 WIB.
  • Sensasi Rasa: Hidangan ini dikenal dengan tingkat kepedasannya yang luar biasa, seolah “meledak” di mulut.
  • Harga: Sekitar Rp 25.000 per porsi.

5. Mangut Lele Mbah Marto (Sejak 1969): Tradisi Makan di Dapur

Mbah Marto memulai usahanya dengan berjualan lele asap secara keliling sejak tahun 1960-an sebelum akhirnya menetap di rumahnya. Keunikan warung ini adalah konsep makan di dalam dapur (pawon) yang tetap dipertahankan meskipun telah sangat populer.

  • Lokasi: Sewon, Bantul.
  • Jam Operasional: 08.00 – 16.30 WIB.
  • Pengalaman Unik: Pengunjung dapat mengambil sendiri lele asap yang disajikan dengan kuah santan pedas, sembari menikmati aroma khas kayu bakar yang masih digunakan.
  • Harga: Sekitar Rp 25.000 per porsi.

6. Bakmi Jawa Pak Pele (Sejak 1983): Aroma Asap Khas dari Anglo

Warung Bakmi Jawa Pak Pele, yang dirintis oleh Suhardiman atau Pak Pele, berawal dari sebuah tenda sederhana di pinggir Alun-alun Utara. Keistimewaan bakmi ini terletak pada penggunaan telur bebek dan kaldu ayam kampung sebagai pembeda utama.

  • Lokasi: Pinggir Alun-alun Utara.
  • Jam Operasional: 17.00 – 23.00 WIB.
  • Teknik Memasak: Hingga kini, bakmi ini tetap dimasak menggunakan anglo (tungku arang) untuk menjaga aroma asap yang khas.
  • Harga: Rp 20.000 – Rp 30.000 per porsi.

7. Ayam Goreng Mbah Cemplung (Sejak 1973): Ayam Kampung Liar dengan Bumbu Meresap

Ayam Goreng Mbah Cemplung bermula dari warung makan sederhana keluarga Mbah Cemplung di perbukitan Sembungan, Bantul. Keunikan hidangan ini terletak pada penggunaan ayam kampung “liar” yang diolah melalui proses ungkep dua tahap, memastikan bumbu meresap sempurna ke dalam daging.

  • Lokasi: Perbukitan Sembungan, Bantul.
  • Jam Operasional: 08.00 – 19.00 WIB.
  • Suasana: Pengalaman makan ayam kampung jumbo disajikan dalam bangunan rumah Jawa yang tetap mempertahankan keasliannya sejak era 1970-an.
  • Harga: Mulai dari Rp 35.000.

8. Kopi Joss Lik Man (Sejak 1980): Ikon Budaya Ngopi Yogyakarta

Lik Man adalah generasi penerus Mbah Sislo yang memulai usaha angkringan di kawasan Stasiun Tugu sejak tahun 1960-an. Kopi Joss tercipta secara tak sengaja ketika seorang pelanggan meminta kopi dengan cara unik: dicelupkan arang panas untuk menetralisir rasa.

  • Lokasi: Jalan Wongsodirjan.
  • Jam Operasional: 16.00 – 01.00 WIB.
  • Keunikan: Sensasi “joss” saat arang panas dicelupkan ke dalam kopi menjadi ciri khas yang menarik.
  • Harga: Sekitar Rp 5.000 per gelas.

9. Mie Lethek Garuda (Sejak 1940): Simbol Kemandirian Pangan Lokal

Mie Lethek Garuda didirikan oleh Yasir Hadi, seorang imigran asal Yaman, yang berinovasi menciptakan mie berbahan dasar lokal seperti tapioka dan singkong. Disebut “lethek” karena warnanya yang kusam alami, tanpa tambahan zat pemutih.

  • Lokasi: Bantul.
  • Jam Operasional: 10.00 – 22.00 WIB.
  • Proses Produksi: Hingga kini, pabrik Mie Lethek Garuda masih menggunakan tenaga sapi untuk menggerakkan mesin penggiling batu, sebuah simbol kearifan lokal.
  • Harga: Mulai dari Rp 15.000.

10. Es Dawet Mbah Hari (Sejak 1965): Kesegaran Alami Lintas Generasi

Mbah Hari telah setia menyajikan es dawet dari gentongnya di sudut Pasar Beringharjo sejak tahun 1965. Konsistensinya dalam menggunakan bahan-bahan alami, seperti pewarna dari daun suji dan gula jawa asli, membuat es dawetnya tetap digemari oleh berbagai kalangan usia.

  • Lokasi: Sudut Pasar Beringharjo.
  • Jam Operasional: 09.00 – 15.00 WIB.
  • Nilai Historis: Es dawet ini bukan sekadar pelepas dahaga, melainkan juga saksi bisu perkembangan ekonomi pasar tertua di Yogyakarta.
  • Harga: Hanya Rp 5.000.

Saat melakukan wisata kuliner ke tempat-tempat legendaris ini, sangat disarankan untuk membawa uang tunai secukupnya. Sebagian besar gerai tradisional ini masih mengandalkan transaksi tunai dan belum menyediakan fasilitas pembayaran digital.